Yuk, Membuka Pikiran!

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Ada seorang teman yang memiliki masalah di lambungnya. Dokter mendiagnosis kondisinya saat ini sudah cukup berbahaya dan menyarankan dia untuk mengubah pola makannya dengan lebih banyak mengonsumsi sayuran. Namun, ia langsung menolak dengan alasan tidak suka sayuran dan benar-benar enggan mencobanya.

Kita mungkin sering melihat hal seperti itu di sekeliling. Mengubah pola makan bisa jadi terlihat sederhana. Namun, sebenarnya orang perlu mengubah mindset dirinya terlebih dulu untuk membuat perubahan tersebut benar-benar dapat menjadi bagian dari dirinya.

Kita melihat banyak rencana diet gagal karena individu tidak benar-benar meyakini diet tersebut harus menjadi bagian dari dirinya, bukan sekadar suatu pola makan yang dijalani sementara waktu.

Demikian juga dalam hal transformasi organisasi. Pada masa sekarang, pelanggan menuntut “lebih” banyak ingin berubah, tetapi tidak mengubah mindset-nya. Bila individu dalam organisasi tidak meyakini pentingnya untuk berpikir secara agile, menerima perbedaan-perbedaan pandangan dari berbagai pihak, sulit baginya untuk melakukan adaptasi terhadap sistem dan cara kerja yang baru.

Dengan tuntutan perubahan pada masa sekarang, rasanya tidak ada lagi tempat bagi mereka yang menolak perubahan. Sikap tidak terbuka ini dapat mengancam kelangsungan organisasi. Apakah ada orang yang cenderung berbakat untuk bersikap terbuka?

Penelitian menunjukkan bahwa mereka yang bersikap terbuka, memang berbeda dalam memproses informasi dan memersepsi dunia dibandingkan dengan mereka yang cenderung berpikiran tertutup. Orang yang terbuka biasanya lebih besar rasa ingin tahunya, kreatif, dan imajinatif. Mereka pun lebih peka dalam mengamati dan menikmati karya seni, musik, buku, dan segala aspek budaya.

Sementara itu, mereka yang tertutup biasanya mempunyai mekanisme penghambat dalam otak yang seolah-olah menyaring masukan visual dan kognitif. Mereka seolah tidak bisa menyerap beberapa visualisasi, suara, atau rangsangan kognitif yang berbeda dari yang biasa dialaminya. Hasil riset juga menemukan bahwa biasanya “blocking” ini diikuti oleh hawa emosi yang negatif.

Orang dengan keterbukaan akan selalu tertantang untuk mempertanyakan keyakinan dan pengetahuan yang sudah dia miliki. Dia justru bersemangat ketika ada yang dapat menyajikan sudut pandang berbeda dengan apa yang dia ketahui saat ini.

Seperti seolah akan menjalani suatu petualangan baru yang belum diketahui bagaimana akhirnya. Hal ini membangkitkan antusiasme dan perasaan dinamis dalam dirinya, dan dengan sendirinya membuat mereka lebih mudah mencari solusi dan belajar.

Setiap orang yang berada di dalam organisasi yang berkembang terus, juga perlu meyakini bahwa bersikap terbuka adalah persyaratan utama bila ia ingin bertahan dan bahkan bertumbuh bersama organisasi.

Organisasi yang sedang bergerak maju membutuhkan individu-individu yang memiliki efisiensi intelektual dan toleransi. Agar dapat menerima ide orang lain, ia harus mengolah informasi, menggodoknya dengan pola pikir yang dimilikinya. Kecerdasan ditambah dengan sikap terbuka akan membantu individu mengolah situasi di sekelilingnya dengan lebih baik.

Ia akan berpikir lebih dalam untuk membandingkan beragam ide baru dengan hal-hal yang diketahuinya selama ini. Di sinilah ia dapat memperluas wawasannya. Sementara itu, mereka yang tertutup akan cenderung malas untuk mencari tahu tentang hal-hal lain di sekelilingnya, ataupun menggali solusi yang lebih jauh lagi. Akhirnya, solusi yang didapat itu-itu saja.

Rock Bar Luncurkan Identitas Visual Baru

Perubahan besar pada identitas visual Rock Bar menandai era baru komitmen Ayana Resort untuk tetap...

Marriott International Rayakan Momen Penting Menuju Nol Bersih

Marriott International, Inc. (Nasdaq: MAR) telah memverifikasi target pengurangan emisi jangka pendek dan jangka...

Halal Bihalal Mangkuluhur Artotel Suites

Siap Hangatkan Suasana Pasca Idul Fitri Dalam rangka merayakan kemenangan Hari Raya Idul Fitri, Mangkuluhur...

- A word from our sponsor -