Budaya Toksik

Pesan elektronik berseliweran selama 24 jam penuh, orang dituntut untuk multitasking, pimpinan yang bangga dengan proyek yang bertumpuk, karyawan sakit yang tidak berani untuk beristirahat karena khawatir performanya dinilai jelek adalah salah satu ciri dari budaya toksik.

Suasana toksik juga terjadi dalam kebiasaan mencari kesalahan, menyalahkan, dan alergi terhadap kesalahan. Dalam situasi ini, tidak seorang pun mau bertanggung jawab terhadap kejadian tertentu walaupun berada dalam areanya. Sebab, setelah menemukan pelakunya, pembahasan difokuskan pada tudingan kesalahan secara bertubi-tubi tanpa ada yang tertarik untuk membahas “what next” agar peristiwa tersebut tidak terulang kembali.

Dalam budaya ini, gejala umum yang tumbuh adalah budaya “pokoknya bukan saya” sehingga tidak ada yang mau mengambil risiko.

Budaya yang penuh ancaman seperti ini bisa saja pada mulanya dimaksudkan untuk menegakkan kedisiplinan. Namun, peringatan terhadap pelanggaran yang berbentuk ancaman ekstrem, akan membangun budaya penuh ketakutan dan suasana kerja berubah menjadi kasar serta menghindari tanggung jawab.

Ada juga kebiasaan dalam beberapa lembaga yang membangun kolaborasi dan preferensi dengan golongan tertentu. Bisa dari suku bangsa, agama, bahkan universitas tertentu yang membuat mereka yang di luar golongan tersebut mengalami kesulitan untuk berkembang.

Terakhir, budaya dengan pimpinan yang selalu benar. Pertanyaan dan kritik dianggap vokal dan berbahaya serta bisa membuat mereka tersingkirkan. Pemimpin dengan jelas menunjukkan preferensinya kepada mereka yang memuja-mujanya lepas dari benar ataupun salah tindakannya.

Bisakah kita bayangkan rasa aman karyawan di organisasi-organisasi seperti ini? Karyawan yang tidak mempunyai pilihan lain akan bertahan di perusahaan seperti ini, dan berfokus pada keamanan pekerjaannya tanpa peduli terhadap perkembangan organisasi.

Sementara itu, karyawan yang potensial membawa kemajuan organisasi, pasti akan mencari tempat lain yang dapat memberikan kenyamanan bekerja. Bukankah ini sangat merugikan organisasi?

Tempat kerja ideal

Banyak orang khususnya pimpinan perusahaan merasa bahwa kultur mereka baik-baik saja, minimal tidak sampai toksik. Namun, pada zaman ketika para milenial sangat kritis terhadap nilai yang dianutnya dan yang dilihat di tempat kerja, kita harus mengkaji praktik-praktik yang terjadi di organisasi kita. Apakah ada yang sekiranya menciutkan nyali para karyawan?

Salah satu cara untuk mencegah berkembangnya budaya toksik adalah memperkuat komunikasi organisasi. Sistem whistle blowing karyawan yang menjamin anonimitas dapat memberikan masukan kepada manajemen mengenai kondisi organisasi.

Amankan Sepotong Surga Anda: Acara Kepemilikan Properti Dubai

Pada 22 Juni 2024, Indonesia akan menjadi tuan rumah acara penting yang menandakan berkembangnya...

Susu Kambing Etamilku: Pilihan Terbaik untuk Kesehatan Pernafasan Anda dari Elmedinah Indonesia

Jakarta – Elmedinah Indonesia dengan bangga mengumumkan peluncuran produk terbaru mereka, Susu Kambing Etamilku....

5 Rekomendasi Kota Kekinian untuk Liburan ala Hotel Neo

Dengan tema "Dream Differently", Hotel Neo sebagai pelopor dalam industri perhotelan, menghadirkan pilihan destinasi...

- A word from our sponsor -