Budaya Toksik

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Dalam proses rekrutmen karyawan, kedua belah pihak tentunya saling menilai. Yang merekrut akan menilai si calon karyawan apakah ia dapat membuat kontribusi yang signifikan hingga menjadi pemimpin masa depan? Sebaliknya, calon karyawan menilai perusahaan yang akan merekrutnya ini apakah bisa menjadi tempat mengembangkan talentanya? Apakah ia akan menemukan yang ia cari bila bergabung dengan mereka?

Konsep employability sudah tidak lagi sekadar organisasi yang dapat menjamin hari tua. Dalam suatu pembicaraan di media sosial, ada seorang calon pekerja yang berkomentar, “Saya mau-mau saja pindah pekerjaan, tetapi tidak ke perusahaan yang Anda sebutkan ini. Suasana di perusahaan ini toksik (toxic).”

Pembicaraan pun berlanjut dengan tanggapan beberapa orang yang menyebutkan indikasi-indikasi perusahaan toksik. Antara lain, gejala “silo”, cari muka, dan sikut-sikutan. Mendengar ini kita mungkin berpikir, bukankah hampir di semua organisasi hal-hal seperti ini dapat terjadi? Pada kondisi sejauh apa kita dapat menyebutnya sebagai toksik?

Kata toksik berkonotasi sangat kuat dan keras. Setiap organisasi tentunya menghindari tersangkut label toksik yang membangkitkan kesan gerah dan terasa beracun ini. Sebuah penelitian di Amerika yang dilakukan MIT menemukan bahwa budaya toksik inilah penyebab utama karyawan meninggalkan perusahaan.

Anda mungkin masih ingat Travis Kallanick, pemimpin Uber yang kontroversial karena beberapa tindakan tidak etis terhadap pengemudi maupun karyawannya sendiri sehingga banyak eksekutif yang meninggalkan perusahaan dan mengakibatkan kerugian yang amat besar. Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 58 persen karyawan melakukan resign disebabkan budaya toksik dari perusahaan terdahulunya.

Istilah “suka tidak suka, terima saja” sudah tidak bisa berlaku dalam dunia yang semakin kritis dan disruptif ini. Pilihan yang tersedia jauh lebih banyak, job hopping pun sudah dipandang hal yang lumrah saat ini. Sebanyak 65 persen gen Z umumnya bertahan kurang dari setahun dalam sebuah organisasi.

Angka yang jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan gen X, baby boomers, atau bahkan milenial sekalipun. Untuk itu, organisasi perlu benar-benar mengupayakan budaya yang sehat, positif, dan terus bertumbuh.

Budaya disfungsional

Pada setiap tempat kerja, budaya disfungsional bisa muncul dalam beragam bentuk. Mulai dari bullying, berkoalisi yang tidak sehat, sampai praktik-praktik ketidakjujuran dan yang melanggar kode etik. Bahkan, pada masa bekerja secara virtual seperti ini pun, suasana toksik juga bisa terjadi melalui perundungan (bullying) dalam bentuk pesan elektronik maupun telepon.

Banyak yang menuduh atasan sebagai penyebab situasi toksik ini. Namun, sesungguhnya kondisi ini dapat disebabkan siapa pun juga pada level apa pun juga. Memang kepemimpinan yang lemah cenderung membiarkan budaya toksik ini terus berkembang karena ia tidak memiliki keberanian untuk mengakhirinya.

Bagaimana bentuk perusahaan disfungsional? Perusahaan berkinerja tinggi dan bergengsi yang bangga dengan budaya bekerja tidak kenal waktu, tanpa sadar telah membangun budaya toksik yang memeras karyawannya.

Nilai Transaksi Kripto di Indonesia Naik 200% pada Maret 2024

Jakarta, 04 Mei 2024 - Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti) mencatat nilai transaksi...

Ingin Punya Website Profesional, Coba Layanan Pembuatan Website Nextgen

Mempunyai website sudah merupakan keharusan dalam persaingan dunia digital sekarang ini. Website membantu perusahaan...

Bicara Green Branding, LindungiHutan Undang Founder & CEO OXO Group Indonesia dalam Webinar Green Skilling

LindungiHutan telah menyelenggarakan webinar Green Skilling mendatangkan narasumber dari OXO Group Indonesia.Serial webinar Green...

- A word from our sponsor -