FOMO

Mereka yang mengalami ini kemudian berusaha untuk mencari pelepasannya melalui media sosial-media sosial. Sekadar di-tag atau di-mention oleh temannya di media sosial menimbulkan rasa senang. Ketika ada orang yang menyukai postingan kita dengan memberikan tanda like atau bahkan comment dapat memberikan rasa senang yang menaikkan hormon dopamin kita.

Namun, sayangnya, semakin intens kita ingin mencari rasa senang ini, lama-kelamaan justru semakin meningkatkan kecemasan ketika tag, like, dan comment itu tidak ada. Rasa itu kemudian berkembang sampai merasa bahwa hidup orang lain lebih menyenangkan daripada diri kita dan kita terus membuka media sosial untuk melihat-lihat kehidupan orang lain.

Di sinilah lingkaran setan bekerja sampai menjadi sebuah ketergantungan yang sulit dilepaskan.

Apalagi pada masa sekarang saat perputaran informasi sedemikian cepatnya dan berubah terus, hampir mustahil bila kita ingin selalu update dengan beragam informasi terbaru. Menambah frekuensi penggunaan media sosial justru akan menambah tingkat kecemasan kita.

Hasil penelitian mengatakan bahwa rata-rata manusia dewasa muda menghabiskan 147 menit sehari untuk bermain media sosial. Inilah yang menyebabkan kita selalu update dengan segala kejadian di dunia ini, dengan apa yang dilakukan orang lain, baik sahabat, rekan kerja, tetangga, maupun tokoh-tokoh publik.

Banyak juga yang kemudian tidak ingin merasa ketinggalan dengan ikut mendokumentasikan dan menyebarkan setiap aktivitasnya. Bahkan, sampai tidak memikirkan dampak postingan yang dilakukannya terhadap keselamatannya, hanya agar ia merasa dirinya sebagai bagian dari aktivitas lingkungan sosialnya.

Walaupun citra kehidupan orang di media sosial tidak menggambarkan kehidupannya secara utuh karena biasanya yang ditampilkan hanya bagian terbaiknya saja, kita tetap sulit menghentikan pemikiran yang membandingkan diri dengan orang lain. 

Montesquieu, penulis yang juga ahli filsafat mengatakan, “If one only wished to be happy, this could be easily accomplished; but we wish to be happier than other people, and this is always difficult, for we believe others to be happier than they are.”

Social comparison ini memang distruktif untuk rasa wellbeing kita. Para penderita FOMO umumnya terus berfokus keluar dirinya sehingga tidak pernah mengolah dirinya sendiri dan kehilangan sense of self yang autentik. Mereka sibuk membandingkan kehidupan nyatanya dengan kehidupan sosial media orang lain, sampai akhirnya menjadi asing dalam dunianya sendiri. 

Mengubah fokus dan lebih bersyukur

Meskipun kita sadar hal ini membuat hidup kita semakin menderita, mengubah kebiasaan dan pikiran kita tidaklah mudah. Paul Dolan, penulis buku Happiness by Design: Change What You Do, Not How You Think, mengatakan, kebahagiaan kita terletak pada alokasi perhatian kita.

Kuatkan Tulang dan Pernafasan Anda dengan Susu Kambing Etamilku

Jakarta – Elmedinah Indonesia dengan bangga mempersembahkan produk terbaru mereka: Susu Kambing Etamilku. Dikembangkan...

Susu Kambing Etamilku: Rahasia Kesehatan Tubuh yang Terjaga dari Elmedinah Indonesia

Jakarta – Elmedinah Indonesia mempersembahkan solusi kesehatan terbaru mereka: Susu Kambing Etamilku. Sebagai pemimpin...

Organisasi Masyarakat Sipil Meminta Pemerintah Indonesia untuk Tidak Terburu-buru dalam Menyetujui Perjanjian Pandemi

Organisasi Masyarakat Sipil Indonesia mengirimkan surat terbuka kepada Pemerintah Indonesia yang menuntut pemerintah untuk...

- A word from our sponsor -