Kopi dan Bisik-bisik Politik

“Coffee is a lot more than just a drink; it is something happening.” — Getrude Stein

Pada suatu hari, kopi dan sufi. Di kota pelabuhan al-Mukha, Yemen, guru tarikat Shadiliyah menuangkan minuman warna hitam itu untuk murid-muridnya, agar mereka tak tertidur sepanjang malam berzikir.

Delapan abad yang lalu itu, Guru Abu Hassan Ali bin Umar memungut apa yang dilakukan orang Ethiopia, di seberang Laut Merah, beratus-ratus tahun sebelumnya: mengunyah biji kopi, dan mereka tak mengantuk.

Di Al-Mukha (dari mana kata “mocca” yang kita lihat di menu kafe berasal) biji kopi mulai dipanggang dan minuman disiapkan. Dan dengan metode tahan-melek ala tarikat Shadiliayah itu para sufi berjalan dari tempat ke tempat, membawa qahwa. Maka kopi pun jadi bagian kehidupan religius, jauh sebelum pemilik Starbuck menjadikannya sebagai adat memuja laba.

Sekularisasi kopi berlangsung bersama perubahan tata sosial dan pola hidup di masyarakat.

“Mereka minum kopi tiap Senin dan Jumat, dari teko besar tanah liat merah,” tulis Ibnu ‘Abdul Ghaffar di abad ke-16, yang mencatat yang dilihatnya dalam pertemuan para darwish di Kairo. “Seraya mengucap, “la illaha il’Allah”.

Mereka mirip para sufi Yaman yang mencecap kopi sambil membaca ratib, menyebut nama suci Ya Qawi. (“Wahai, Engkau yang memiliki segala daya”) sebanyak 116 kali.

Tapi sebagaimana banyak hal yang semula dekat dengan dunia esotoris, sedikit misterius tapi memikat, kopi pelan-pelan jadi sesuatu yang lumrah ketika orang ramai menjangkaunya. Auranya tak ada lagi. Sekularisasi kopi berlangsung bersama perubahan tata sosial dan pola hidup di masyarakat. Terutama ketika kota-kota tumbuh, perdagangan menyeruak, kehidupan publik lebih terbuka, pergaulan lebih egaliter, dan jenis waktu senggang berkembang jadi populer.

Dari al-Mukha, kopi dibawa ke jazirah Arab. Orang menyukainya, dan bahkan meminumnya di Masjidil Haram — sampai pada bulan Juni 1511, para ulama mengharamkannya. Fatwa ini, didukung mayoritas ulama Sunni, dikukuhkan kembali tahun 1539.

Tapi kopi tak bisa dihentikan. Kekuasaan Turki Usmani yang menjangkau hampir seluruh Timur Tengah secara tak langsung menyebarkan minuman sufi itu jadi minuman penduduk kota.

Kedai kopi pertama didirikan di Istambul pada 1551, hasil usaha dua orang wiraswasta asal Suriah. Mereka dengan segera memperluas peminat kopi. Minuman ini  memperpanjang kehidupan setelah matahari tenggelam, dan peradaban makin diperkaya oleh makin besarnya  peran malam hari.

Kahve odasi, kamar kopi, jadi trendy. Cara orang memanfaatkan waktu senggang berubah. Di akhir abad ke-16, ratusan kedai kopi berdiri sejak Istambul sampai dengan Galilea, di wilayah Yahudi.

Dan seperti para ulama Islam di Mekkah abad ke-16, juga para rabbi Yahudi cemas.  Mereka harus memutuskan apakah kopi itu kosher, halal di minum?  Di tahun 1553, seorang rabbi di Kairo memutuskan: umatnya boleh minum kopi yang disiapkan goyim, tapi jangan datang ke kedai kopi; lebih baik menikmati minuman itu di rumah.

Sartre dan Simone de Beauvoir membuka “seminar” sambil minum kopi dan anggur. Juga tercatat bahwa revolusi Amerika dan Prancis dirancang di coffee house.

Tapi di luar jangkaun aturan agama, kehidupan punya dinamikanya sendiri yang tanpa fatwa. “Sekularisasi” tak dapat dibendung: di tahun 1650, justru seorang Yahudi Libanon yang pertama kali membuka kedai kopi di Oxford, Inggris — dengan logo tutup kepala orang Turki yang dikenal sampai sekarang. Peradaban sering digerakkan satu jenis kegiatan yang diremehkan kaum aristokrat dan cendekiawan: perdagangan. Kopi adalah salah satu contohnya.

Tapi tak selamanya lancar. Perubahan sosial yang dibawa dan membawa kopi ke ruang bersama di kota-kota, datang berbareng dengan makin egaliternya pergaulan, makin luasnya kemerdekaan pribadi, dan menyebarnya benih demokratisasi. Dalam sejarah, kedai kopi bukan saja dicemaskan agawaman, tapi juga dicurigai penguasa — dan pada gilirannya jadi pulau-pulau perlawanan.

Di pertengahan abad ke-17, di Anatolia ditegaskan kembali larangan orang berkumpul di kedai kopi, meskipun yang dicegah bukan minumannya. Penguasa melihat, atau menduga, kemungkinan bisik-bisik politik dan komplotan di dalamnya. Dalam sejarah politik Eropa, cafe adalah tempat persemaian ide seni, sastra dan politik.

Bukan hanya di abad ke-20, seperti yang jadi sejarah intelektual Prancis di wilayah Rive Gauche Paris, di mana Sartre dan Simone de Beauvoir membuka “seminar” sambil minum kopi dan anggur. Juga tercatat bahwa revolusi Amerika dan Prancis dirancang di coffee house.

Howard Schultz, pendiri Starbucks, menyamakan kekuatan kopi dengan orkes simfomi:  terletak di tangan beberapa individu di balik orkestrasi yang membangun daya tariknya.  Starbucks memang bisa membuktikannya bahkan dengan kopi yang tak enak. Tapi kekuatan kopi pada akhirnya ada di tempat lain: dalam suasana asyik, bebas, tak harus bertujuan — dan dengan itu, tanpa mabuk, membuat jiwa lepas. Dan ini bisa mencemaskan dan bikin sulit mereka yang, dengan agama dan politik, mencoba mencegah kebebasan.

Getrude Stein benar. Dengan kopi, ada sesuatu yang terjadi.

(By Goenawan Mohamad)

Experience Travel Angkat Danau Toba sebagai Destinasi Prioritas Indonesia

Pariwisata global sedang memasuki era baru di mana pengalaman menjadi inti dari perjalanan. Wisatawan...

Perlunya Kolaborasi Lintas Sektor untuk Kurangi Angka Penyakit Tidak Menular di Kota Medan

Praktisi Kesehatan, Dr. dr. Cashtry Meher, M.Kes, M.H.Kes., Sp. DVE, menjelaskan bahwa kolaborasi lintas...

Kunci Tingkatkan Kualitas Hidup Masyarakat di Kota Medan: Edukasi Pengurangan Bahaya Tembakau

Merokok menjadi salah satu tantangan serius bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menciptakan perbaikan...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here