Persaingan transportasi udara tidak dapat dihindari. Maskapai-maskapai nasional terkemuka di seluruh dunia yang dulu menikmati gurihnya bisnis penerbangan, kini harus menata ulang kalau ingin survive, apalagi kalau kelak benar-benar sudah diterapkan kebijakan open sky secara total.
Faktanya, banyak maskapai penerbangan dunia yang gulung tikar. Tahun 2008, misalnya, ada 32 perusahaan penerbangan yang bangkrut, tahun 2009 26 perusahaan penerbangan menghentikan operasinya.
Di wilayah regional saja, Singapore Airlines merugi SGD 428 juta (dibandingkan profitnya SGD95 juga pada 2008), MAS dilaporkan rugi sekitar RM 117,5 juta pada Januari – September 2009, Thai Airways rugi sekitar Bath 1,57 miliar pada sembilan bulan pertama 2009, Vietnam diperkirakan laba sebelum pajaknya pada 2009 turun 42% dari $14 menjadi $ 8,1 juta.
Sementara itu Qantas rugi sekitar AUD 93 juta pada enam bulan pertama 2009 dan diekspektasikan bisa mencatatkan laba AUD 50-150 juta pada 2009/2010.
Masih ada catatat suram lagi di dunia penerbangan global, beberapa penerbangan terpaksa melakukan merger agar bisa survive.
Misalnya Delta dengan Northwest, United dengan Continental, American dengan US Airways, Frontier dengan Midwest, Lufthansa dengan BMI, British Airways dengan Iberia, Vueling dengan Clickair, Avianca dengan TACA, Spirit Airlines dengan Air Jamaica, China Eastern dengan Shanghai Airlines, dan mungkin Ryan Air dengan Aerlingus, atau Delta dengan JAL.
Apa yang salah? Pertanyaan yang sama bisa kita ajukan pada sebab tenggelamnya Kapal Titanik. Apa yang terjadi sehingga kapal pesiar berukuran besar itu tenggelam? Karena menabrak gunung es? Karena kebanyakan penumpang? Karena kapten kapalnya yang tidak kompeten? Karena konstruksi kapalnya yang memang kacau? Krunya yang payah? Arogansi bahwa kapal tersebut memang hebat?
Bisa jadi kombinasi dari kesemuanya. Selain di internalnya yang bermasalah, dunia sudah berubah, yang terdiri dari new economy & global influences, people are changing dan culture is changing. Begitu pun di dunia penerbangan.
Menyadari hal itu, Garuda Indonesia, misalnya, terus-menerus melakukan berbagai perubahan. Apalagi, jika dahulu Garuda Indonesia adalah perusahaan penerbangan yang menjalankan bisnis secara monopoli di Indonesia, maka sejak tahun 2000-an boleh dibilang peta bisnis penerbangan berubah.
Pada tingkat domestik, Garuda harus menghadapi persaingan dengan maskapai-maskapai penerbangan swsta – Lion dan Wing, untuk menyebut contoh. Sementara pada tingkat global ada, salah satunya AirAsia, yang ekspansif.
Itu sebabnya, guna memanjakan pelanggan maskapai penerbangan Garuda meluncurkan konsep pelayanan bertajuk “Garuda Indonesia Experience”, suatu konsep layanan yang memadukan keramahtamahan khas Indonesia. Konsep itu konon untuk menaikkan tingkat pelayanan penerbangan menjadi bintang empat.
“Ini konsep layanan baru pihak Garuda Indonesia yang memadukan keramahramahan khas Indonesia, dikombinasikan aspek keselamatan dan kenyamanan, seperti toilet yang selalu dijaga kebersihannya, dan tempat duduk (seat) penumpang yang lebih lebar ukurannya, sehingga penumpang lebih leluasa,” kata General Manager Garuda Indonesia Cabang Medan, Muchwendi Harahap, kepada MedanPunya.Com.
Selain itu, kata Muchwendi, pelayanan makanan menu khas Indonesia itu dikemas sekaligus dipersembahkan secara efisien oleh sumber daya manusia (SDM) yang profesional.
“Pokoknya full service airlines-lah,” kata Muchwendi sambil menambahkan, pihaknya berencana menaikkan tingkat pelayanan penerbangan menjadi bintang lima pada 2012.
Dibanding low coast carier, maskapai yang menerapkan konsep full service memang harus bekerja keras. Jika harga bukan yang utama, maka pelayananlah yang harus dinomersatukan. Itu pula yang dilakukan Singapore Airlines (SIA). “Kami selalu memikirkan service apa yang tidak sekadar baik, tapi terbaik bagi para penumpang,” jelas Yap Kim Wah, Senior Vice President Product & Services SIA.
SIA sampai saat ini memang dikenal sebagai maskapai dengan pelayanan terbaik di dunia. Hampir setiap bulan selalu ada lembaga yang memberikan award kepada ikon Singapura ini.
Dengan berbagai inovasi, ditambah dengan komitmen manajemen, maskapai yang lahir tahun 1972 ini menjadi ‘a world-class carrier’, yang mampu melayani hampir 100 destinasi di lima benua. Melalui jaringan Star Alliance, SIA bahkan melayani lebih dari 19.700 penerbangan setiap hari ke 1.077 tujuan di 175 negara.
Memang, tidak bisa dimungkiri, dengan maraknya penerbangan model LCC yang bertiket murah, sedikit banyak ikut mengganggu pasar penerbangan berservis. Tapi untuk itu Grup SIA sudah lama menyiapkan ‘second brand’nya, SilkAir dan Tiger, sedangkan untuk SIA tetap mempertahankan layanan nomer satu.
“Constantly redefine the travel experience and continue the pace of innovation that is a hallmark of SIA,” ujar Yap yang bergabung dengan SIA sejak 1975.
Menurut Yap, tahun 1970-an, SIA dikenal sebagai maskapai yang menawarkan headset gratis, minum gratis dan pilihan makanan di kelas ekonomi.
Selanjutnya SIA juga tercatat sebagai trendsetter dalam berbagai pelayanan, yang tonggak-tonggaknya sebagai berikut; 1984 (first to fly non-stop London-Singapore), 1991 (first with inflight telephones), 2001 (first to launch inflight trial of e-mail), 2001 (first to launch audio & video on demand in all classes), dan 2004 (world’s longest non-stop flights), dan 2007 (launch customer for the A380).
Intinya, pelayanan adalah nomer satu bagi maskapai penerbangan, apalagi yang menerapkan konsep full service. Tidak hanya servis, tapi juga inovasi-inovasi dalam memberikan servis tersebut. Dalam penerbangan jarak jauh, misalnya, pada gablibnya ada fasilitas berupa televisi dan game, sehingga penumpang anak-anak tidak merasa jenuh selama perjalanan yang memakan waktu sekitar 8 – 10 jam.
Komitmen pada perbaikan kualitas yang terus-menerus (continous improvement) merupakan keharusan bagi semua perusahaan di era kompetitif seperti sekarang ini.
Jika tidak, sudah diduga, seperti yang terjadi pada berbagai maskapai penerbangan, reputasi jatuh, yang berakibat pada menrunnya jumlah penumpang, dan tentu saja merosotnya kinerja perusahaan. (Burhan Abe)