Dulu dianggap biasa saja, kini buah pala dari tanah Papua menyita perhatian dunia parfum. Siapa sangka, perempuan adat adalah sosok di balik transformasi ini.
Di lembah-lembah hijau Fakfak, Papua Barat, ada yang lebih harum dari sekadar aroma alam tropis. Aroma itu kini menggoda penciuman rumah parfum dunia seperti Chanel dan Hermès. Bukan karena bunga eksotis, melainkan dari buah yang selama ini kerap dianggap biasa: pala.
Tapi kisah ini bukan hanya soal wewangian—ini tentang kekuatan perempuan adat, tentang tradisi, dan tentang tanah yang mereka jaga sepenuh hati.
Di tengah komunitas Desa Pangwadar, berdiri teguh seorang figur: Mama Siti, 52 tahun. Rambutnya diikat rapi, senyumnya bersahaja, tapi matanya berbinar setiap kali membicarakan pala Tomandin—varietas lokal yang selama ini nyaris terlupakan.
“Dulu, buah pala cuma dikeringkan dan dijual murah ke pengepul. Sekarang, kami bisa olah jadi sirup, minyak, bahkan bahan parfum,” ujarnya dengan bangga.
Kebaya untuk Pohon Pala? Yes, It’s a Thing.
Di komunitas Mama Siti, pohon pala bukan sekadar pohon—ia adalah simbol kehidupan. Setiap tahun, dua bulan sebelum panen, para perempuan adat akan menggelar upacara sakral bernama “wewowo.”




Dalam tradisi ini, pohon-pohon pala “dipakaikan” kebaya sebagai simbol larangan memetik buah muda. Ritual ini bukan hanya indah secara visual, tetapi juga menjadi bentuk pelestarian.