Transformasi Organisasi

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Sejak tahun 2020, lebih dari separuh perusahaan dalam Fortune 500 tidak terlihat dalam daftar tahun berikutnya. Ke mana mereka? Pastinya tidak lagi berada dalam daftar perusahaan terbaik ini. Pertanyaannya, apakah menurunnya reputasi ini akan dilanjutkan dengan menurunnya kinerja dan kesehatan perusahaan?

Sebuah lembaga riset di Amerika meramalkan, perusahaan-perusahaan dengan nilai saham besar yang terdaftar di S&P 500 akan digantikan oleh perusahaan lain dalam waktu 10 tahun.

Hampir semua organisasi bisnis saat ini berada dalam posisi waspada karena kompleksitas ekosistem bisnis dan perubahan yang tiada hentinya. Ancaman terhadap setiap perusahaan jelas. Mereka harus siap berubah dan beradaptasi kalau tidak mau mati.

Namun, mengubah organisasi besar dengan lokasi tersebar di berbagai tempat serta ribuan karyawan yang datang dari berbagai latar belakang dan pendidikan tentu tidak mudah. Apalagi bila mereka sudah memiliki mindset tertentu dan membentuk kebiasaan-kebiasaan lama. Robin Speculand, konsultan yang berfokus pada implementasi strategi, menyebutkan, dalam 15 tahun terakhir kegagalan transformasi organisasi bisa mencapai 60–90 persen. 

Menurut Speculand, organisasi tidak bisa berubah kalau manusia di dalamnya tidak berubah. Banyak organisasi yang merasa bahwa berubah adalah mengganti aset yang teraga, seperti sistem teknologi dan struktur organisasi, tanpa menyentuh unsur emosi manusianya. Padahal, transformasi digital itu mudah, tetapi tidak dengan transformasi orang.

Dalam bukunya, The Disruption Mindset, Charlene Li mengatakan, perubahan organisasi hanya bisa berjalan bila kita memulainya dengan mengidentifikasikan keyakinan-keyakinan utama dan perilaku yang akan diubah sebelum menyusun tonggak-tonggak perilaku, proses, dan governance pengganti, bukan sebaliknya.

“Putting people first”

Banyak orang lebih mengedepankan teknologi daripada manusia. Transformasi sering dianggap dominasi teknologi digital, mengubah proses menjadi robotik dan semua hal yang teraga. Padahal, kita tahu bahwa penggerak transformasi adalah manusia sehingga hal pertama yang harus diubah adalah manusianya. Bagaimana caranya?

Pertama, untuk membuat manusia dalam organisasi mau berubah, kita perlu menunjukkan bahwa mereka berarti dan kita sungguh menghargai mereka. Pimpinan perusahaan perlu memberi pesan bahwa mereka mengerti akan adanya konsekuensi tertentu yang harus dipikul manusia dalam organisasi. 

Apakah kita memperhitungkan beban berkendaraan bagi para karyawan yang sudah hampir 2 tahun merasa bebas dari kemacetan ketika akan memberlakukan bekerja dari kantor (WFO) kembali? Apakah kita mempertimbangkan perasaan seorang manajer yang harus mengurangi jumlah bawahannya karena sebagian besar proses bisnisnya sudah digantikan oleh mesin?

Kedua, dengan keadaan yang serba tidak jelas ini, banyak karyawan yang meragukan kemampuannya menghadapi perubahan. Pucuk pimpinan perlu menanamkan mindset terus bersemangat mempelajari hal-hal baru karena sebenarnya masih banyak hal yang tidak kita kuasai. “The more I learn, the less I know.” Semangat belajarlah solusi yang tak pernah lekang dimakan waktu.

Dukung Akselerasi Pasar UMKM, Sampoerna Gelar Bincang Wirausaha Nasional di Jakarta

PT HM Sampoerna Tbk. (Sampoerna), melalui program pemberdayaan UMKM “Sampoerna Entrepreneurship Training Center (SETC)”...

Butuh Layanan IT Outsourcing Berkualitas dan Murah, Ini Solusinya

Pernahkah Anda mengalami kesulitan dalam pengembangan perangkat lunak di perusahaan Anda? Perlu Anda ketahui,...

Bina Bangsa School Bersiap Menjadi Bagian dari Ibu Kota Nusantara (IKN)

Bina Bangsa School bekerjasama dengan pemerintah dan penduduk setempat untuk membangun pendidikan Indonesia dengan...

- A word from our sponsor -