Resep Mengelola Relawan Agar Sociopreneurship Eksis

Disrupsi teknologi yang dipercepat dengan disrupsi akibat pandemi Covid-19 bisa menjadi peluang bagi para pelaku sociopreneur untuk berkembang dan membesarkan gerakan. Syaratnya, komitmen dan konsistensi. Tanpa kedua prinsip tersebut, mustahil gerakan nirlaba akan berkelanjutan dan memberikan dampak luas bagi masyarakat.

Demikian kesimpulan yang dapat ditarik dari “Sociopreneur Discussion Series” yang dibawakan oleh Nadia Hasna Humairah, Senin (12/4) pagi. 

Sociopreneur Discussion Series merupakan talk show online yang diselenggarakan Padusi setiap pekan pada hari Senin pagi. Nadia sendiri merupakan ambassador dari Padusi.id, wadah anak muda Indonesia untuk berbincang, tukar pikiran dan menyerap ilmu dari sederetan narasumber inspiratif yang  sudah berkarya secara nyata.

Tamu yang dihadirkan dalam talk show kali ini adalah Ainun Chomsun, founder gerakan sosial “Akademi Berbagi” yang  tahun ini  masuk usia ke-11. Akademi Berbagi (Akber) adalah gerakan sosial nirlaba yang bertujuan untuk berbagi pengetahuan, wawasan dan pengalaman yang bisa diaplikasikan langsung sehingga para peserta bisa meningkatkan kompetensi di bidang yang telah dipilihnya. 

Model pendidikan di Akber adalah kelas-kelas pendek yang diajar oleh para ahli dan praktisi di bidangnya masing-masing. Kelasnya pun berpindah-pindah, fleksibel sesuai dengan ketersediaan ruang kelas yang disediakan oleh para donatur ruangan.

Berbagai macam topik telah diberikan di dalam kelas-kelas Akademi Berbagi. Di antaranya: Social Media, Advertising, Jurnalistik, Public Speaking, Public Relation, Financial, Entrepreneurship, Kreatif, Musik, Fotografi dan masih banyak lagi. Semua kelas pembelajaran itu terbuka untuk umum dan bisa didapatkan secara gratis.

Inisiasi Akber berawal dari percakapan di media sosial Twitter. Karena programnya mudah diduplikasi, keberadaan Akber pun berkembang pesat. Kendati lebih banyak berkembang dari mulut ke mulut melalui jaringan pertemanan antar komunitas, saat ini Akber sudah berkembang di 40 kota di seluruh Indonesia  dengan lebih dari 600 orang relawan dan memiliki “alumni” peserta lebih dari 15 ribu orang.

Bukan sekadar berbagi ilmu, mereka juga berbagi soft skill dan mengembangkan jaringan agar bisa bersinergi dalam membuat perubahan baik di setiap lingkungan masing-masing. 

Konsistensi dan Komitmen Kunci Nafas Panjang Sociopreneur

Membuka diskusi, Nadia mengungkapkan rasa syukurnya atas merebaknya minat anak muda sebagai sociopreneur yang terjun langsung dan berkontribusi positif bagi masyarakat. Mengamini rasa syukur Nadia, Ainun menegaskan bahwa spirit sociopreneur pada dasarnya bukan hal baru bagi masyarakat Indonesia. Bangsa ini, ucapnya, dibangun dengan semangat gotong royong dan spirit saling membantu. 

“Sekarang aja kita menyebutnya keren, relawan. Tapi sebenarnya spirit itu sudah menjadi wisdom yang diwariskan orang-orang tua kita dalam kehidupan sehari-hari,” ujarnya.

Ainun mengakui, fenomena media sosial menjadi pupuk subur tumbuh dan berkembangnya sociopreneur di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Namun yang memprihatinkan, dari ribuan gerakan sosial yang tumbuh di tanah air, banyak yang tidak mampu bertahan lama. Ia mengamati perkembangan tersebut sejak mulai menginisiasi gerakan “Akademi Berbagi” yang diawali melalui percakapan di Twitter pada 2010.

“Banyak anak muda yang peduli dan terjun langsung itu bagus. Namun yang lebih penting lagi adalah bagaimana membangun sistem yang benar agar sociopreneur yang mereka rintis bisa berkembang dan berdampak signifikan. Di situlah kunci keberlangsungan sebuah greakan sosial,“ paparnya.

Indikator keberhasilan dari sebuah gerakan sosial, menurut Ainun adalah perubahan sosial. Untuk memperoleh hasil yang nyata, lanjutnya, para pelaku sociopreneur harus bisa memastikan siapa yang akan menjadi target dan seperti apa dampak nyata yang dihasilkan.

“Kalau ada yang nasibnya berubah, itu dampak nyata yang terlihat. Dan itu jauh lebih penting daripada popularitas dan publikasi yang memberikan ilusi seolah-olah kita sudah besar,” tambahnya lagi.

Perkara biaya operasional yang sering menjadi problem keberlangsungan sebuah gerakan sosial, menurut Ainun mestinya tidak menjadi masalah karena Akber pun terbentuk nyaris tanpa modal.

“Kami  tidak berangkat dari biaya. Untuk tempatnya, bisa biasa pinjam fasilitas gratis milik perusahaan, café, resto, bahkan balai RW atau di pantai untuk belajar. Karena kami justru ingin mengubah paradigma masyarakat, bahwa belajar harus tersekat di institusi resmi. Bagi kami yang penting ada guru dan murid, maka semua bisa terlaksana,” ujarnya.

Ainun mengakui, mengelola relawan sebagai motor gerakan agar mampu berkembang menjadi agen perubahan bukan perkara mudah. Bagaimana pun juga, para relawan itu tidak mendapatkan imbalan dalam aktivitas mereka.

Maka, untuk mempertahankan komitmen dan konsistensi para relawan, menurut Ainun kuncinya adalah bagaimana agar mereka merasa mendapatkan manfaat dari kerelawanann mereka. Di Akber, hal ini ditempuh dengan berbagai program pembekalan, workshop dan mentoring serta gathering

Masih kata Ainun, pendekatan kepada relawan harus benar-benar mempertimbangkan sentuhan kemanusiaan. Menyitir wisdom Bapak Pendidikan Nasional kita Ki Hajar Dewantara, Ainun sependapat bahwa seorang pemimpin dalam gerakan sosial harus mampu bertindak ‘Ing ngarsa sung tulada, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani’.

“Itulah pekerjaan rumah besar bagi setiap gerakan sosial untuk mempertahankan eksistensinya,” pungkasnya.

Tempayan Indonesian Bistro Rayakan Grand Opening dengan Penawaran Diskon 50%

Setelah sukses dengan rangkaian pembukaan hingga masa soft opening sejak Maret 2024, Tempayan Indonesian...

Hotel dengan Konsep Sport, Seni, dan Gaya Hidup

Hasil Kolaborasi Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) dengan Artotel Group  Senin, 22 April...

Breman85, Keunggulannya Secara Lugas Memadukan Keramahan Bali

Selamat datang di Breman85, di mana makanan lezat, bir yang luar biasa, dan suasana...

- A word from our sponsor -

Previous article
Next article