Perempuan Membuktikan

Oleh Eileen Rachman dan Emilia Jakob

Kita merayakan Hari Kartini setelah 8 Maret lalu merayakan Hari Perempun Internasional. Banyak organisasi yang sudah menggalakkan diversity, bahkan memberikan anggaran yang cukup besar untuk program-program mendorong keterlibatan perempuan yang lebih besar. Namun, sayangnya, masih terdengar keluhan para perempuan yang tidak bahagia.

Perempuan secara umum memang masih mendapatkan beban rumah tangga dan pengasuhan anak yang lebih besar dari para pria. Pada masa pandemi, perempuan yang “dirumahkan” berjumlah dua kali lipat dari para pria. Hal ini otomatis menambah beban perempuan yang bekerja di rumah dengan urusan domestik.

Sebelum lelah mengkaji betapa perempuan dikalahkan dalam hak bekerja, upah, dan kesempatan menjadi pemimpin, tiba-tiba datang pandemi yang sudah pasti mengubah banyak situasi. Life has changed in a day.

Dr Marija Zdravkovic, CEO dari sebuah rumah sakit di Belgrade, Serbia, segera mengubah rumah sakitnya menjadi darurat Covid. Mereka hanya memiliki waktu 24 jam untuk memindahkan 248 pasien non-Covid ke rumah sakit lain dan menyiapkan rumah sakit menjadi pusat penanganan penyakit epidemiologikal.

Dr Zhamilya Abeuova di Kazakhstan dan Dr Deborah Mc Namara di Dublin, Irlandia juga berhasil memimpin perubahan operasional rumah sakit untuk dapat beradaptasi dengan penyakit menular dan ganas ini. Ketiga tokoh rumah sakit tadi adalah perempuan.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sampai mengatakan, women, as the majority of the global health and social care workforce, are the drivers of global health.

Apakah stereotip sudah berubah?

Tentunya bukan para perempuan saja, pria pun secara sadar ingin sekali melihat hilangnya kesenjangan antara pandangan terhadap kapasitas perempuan dibandingkan dengan pria. Namun, kenyataan belum berkata demikian.

Dalam dunia kesehatan, perempuan tetap menerima upah lebih rendah daripada lelaki dan juga kesulitan mendapat tanggung jawab yang besar. Dr McNamara mengatakan bahwa di Irlandia, persentase ahli bedah perempuan hanya 7 persen. Bahkan, jarang sekali mahasiswa perempuan bercita-cita menjadi ahli bedah.

Dalam menghadapi tantangan pandemi ini, kita melihat banyak perempuan yang menunjukkan prestasi sangat memukau. Negara-negara yang dipimpin perempuan, seperti Denmark, Finlandia, Eslandia, Selandia Baru, Jerman, Taiwan, dan Slovakia mencatat respons yang paling efektif terhadap Covid 19 ini.  

Pexels

Pemimpin-peminpin wanita ini sangat proaktif dengan implementasi social distancing yang sangat ketat, membuat strategi yang komprehensif dan penuh perhitungan, serta mempersatukan seluruh negara agar patuh dan menunjukkan transparansi dalam semua tindakannya.

Di sinilah ungkapan think manager, think male digugurkan. Kalau dulu kita mengenal stereotip bahwa pria lebih tegas, percaya diri, asertif dan mandiri, dan pandai memimpin; sementara perempuan lebih relasional, inklusif, komunal, dan keibuan, sekarang faham itu tidak menghasilkan kepemimpinan yang efektif. Masa pandemi ini membuktikan bahwa perempuan memang lebih efektif daripada pria.

Jacinda Ardern, Perdana Menteri Selandia Baru justru menonjolkan kewanitaannya. Perannya sebagai seorang ibu yang tidak kehilangan ketegasannya tanpa menampilkan sosok kelaki-lakian sama sekali. 

Relational leadership 

Klien saya, perusahaan yang berlatar belakang teknik sehingga mayoritas karyawannya adalah insinyur-insinyur pria, tiba-tiba mengubah value statement-nya dan mengaku bahwa mereka adalah perusahaan yang people centered.

Jenderal James McConville, Kepala Staf Angkatan Darat Amerika, juga baru saja mengumumkan rencana penggantian slogannya menjadi, put people first dan mengatakan, “When we take care of our people and treat each other with dignity and respect, we will have a much stronger, and more committed Army.”

Tampaknya, kecenderungan untuk mementingkan relationship leadership di beragam sektor semakin lama semakin kuat.
Kenyataannya, stereotip bahwa perempuan lebih kuat dalam membina relasi daripada pria memang sudah ada sejak tahun 1946 dan relatif tidak berubah sampai sekarang. Kebutuhan akan gaya kepemimpinan lainlah yang berubah.

Situasi yang sangat terasa berubah adalah bahwa animo masyarakat terhadap pemimpin yang top-down semakin lama semakin kecil. Orang butuh pemimpin yang hanya take charge tetapi juga lebih take care.

Hyper masculine leadership yang dipertontonkan oleh CEO Uber Travis Kallanick sama sekali sudah tidak mempan bahkan dianggap toxic. Individu memang merasa lebih nyaman bila pemimpin memperhatikan mereka, apalagi di zaman krisis kesehatan seperti ini.

Dengan diperhatikan, terbukti para followers lebih mau bekerja sama dan patuh kepada peminpinnya. Contohnya saja sikap masyarakat Selandia Baru dalam menerapkan protokol kesehatan secara tertib. Bukankah ini sekadar hukum timbal balik?

Hal yang juga merupakan perbedaan nyata adalah bagaimana para pemimpin pria menyemangati rakyatnya dibanding pemimpin perempuan. Pria umumnya menggunakan peperangan dan taktik yang berlandaskan ketakutan untuk membicarakan Covid.

Sementara itu, perempuan lebih banyak menyinggung unsur keluarga, anak, dan kelompok-kelompok yang lemah, sehingga lebih bernada kohesi dan compassion.

Seperti kata kata Angela Merkel, “These are not just abstract numbers in statistics, but this is about a father or grandfather, a mother or grandmother, a partner — this is about people.”

EXPERD – HR Consultant/Konsultan SDM
Diterbitkan di Harian Kompas Karier 17 April 2021

Tasrih Ketakutan dari Joko Anwar

Resensi Film Siksa Kubur Oleh Akmal Nasery Basral Mengisi libur Idul Fitri dengan film horor di...

15 Gerai Starbucks Tercantik yang Layak Dikunjungi Selama Liburan

Libur Lebaran adalah saat yang spesial untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Namun,...

Embark on a Blissful Eid al-Fitr Getaway with Le Méridien Jakarta’s Family-Friendly Package

As the joyous occasion of Eid al-Fitr approaches, Le Meridien Jakarta is thrilled to announce...

- A word from our sponsor -