Banyak fotografer memburu kesempurnaan.
Colin Dodgson justru mengejar sesuatu yang lebih aneh—dan lebih jujur.
Lahir di bawah langit sinematik California Selatan, Dodgson membangun reputasinya bukan lewat presisi yang licin, tapi melalui cinta akan ketidaksempurnaan.
Karyanya—baik di Vogue, Dazed, maupun dari balik jendela kereta api yang melaju di Pegunungan Andes—terasa lebih seperti mimpi jernih ketimbang dokumentasi visual. Bayangkan: cahaya hangat, timing tak biasa, dan subjek yang tertangkap di tengah napas, gerakan, atau pikiran.
Sekilas, fotonya indah. Tapi jika dilihat lebih lama, terasa aneh. Dan di sanalah letak kehebatannya.
ALKEMIS DUNIA ANALOG
Di era yang tergila-gila dengan kejernihan digital, Dodgson memilih jalan sebaliknya: analog. Ia tak hanya memotret dengan film—ia juga mencetak hasilnya sendiri di kamar gelap, dengan segala ketidakterdugaan yang menyertainya.
“Saat memotret, saya seperti mengoleksi sesuatu,” ujarnya. Bukan hanya benda—batu, sampah, kentang—tapi juga momen. Yang tak sempurna. Yang penuh makna.
Sentuhan inilah yang membuat rumah mode sekelas Gucci, Louis Vuitton, Marni, dan Burberry jatuh hati. Mereka datang bukan untuk hasil yang rapi, tapi untuk jiwa. Untuk narasi. Untuk cerita-cerita singkat yang disisipkan Dodgson dalam setiap frame.
ABSURDITAS YANG PUITIS
Selalu ada kelucuan samar dalam karyanya. Lelucon kecil yang tidak dijelaskan. Detail surealis yang terasa seperti rahasia kecil kehidupan sehari-hari. Sebuah kentang bisa tampak seperti patung sakral. Bungkus minuman di pinggir jalan bisa jadi still life yang filosofis.
Tapi di balik absurditasnya, ada empati. Dalam Safety, Service and Security (2018), ia memotret kampung halamannya dengan kepekaan eksistensial.
Sementara Ciento por Ciento (2022) membawanya ke Patagonia, mendokumentasikan konservasi lingkungan dengan kesadaran yang lembut—bukan menggurui, hanya menunjukkan.