Sudah hampir satu semester pemerintahan Presiden Prabowo berjalan sejak Oktober 2024. Namun, yang sering jadi sorotan bukan hanya kebijakannya, tapi juga gaya komunikasi para pejabat yang kerap memicu kontroversi.
Mulai dari kata-kata kasar hingga respons emosional di media sosial, sepertinya pola komunikasi “gaduh” masih terus berlanjut. Apakah ini akan menjadi warisan yang tidak diinginkan?
Pola Komunikasi yang “Turun-Temurun”
Pernah dengar pepatah “buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”? Tampaknya ini berlaku juga di pemerintahan. Ketika pemimpin terbiasa berbicara kasar atau emosional, bawahan pun cenderung meniru. Beberapa contoh yang mencolok:
Presiden Prabowo menyebut kritikus dengan kata “Ndasmu” saat membela program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Luhut Binsar Pandjaitan balas mencibir warganet dengan “Kau yang gelap” menanggapi tagar #IndonesiaGelap.
Bahlil Lahadalia, yang kini jadi Menteri ESDM, pernah berujar, “Jika kalian pejabat, mungkin lebih jahat dari saya.”
Dengan contoh seperti ini, tidak heran jika gaya komunikasi “keras” seolah jadi norma baru. Tapi, apakah ini efektif untuk membangun kepercayaan?
Branding Pemerintahan: Trust vs. Kegaduhan
Pemerintah bukan sekadar pengelola negara, tapi juga perlu “branding” yang baik. Branding yang kuat bisa meningkatkan kepercayaan publik, membuat kebijakan lebih mudah diterima, bahkan menarik investor. Sebaliknya, jika citra buruk melekat, dampaknya bisa serius:
- Publik jadi skeptis: Kebijakan bagus pun bisa dicurigai.
- Investor kabur: Tidak ada yang mau menanam modal di lingkungan yang dianggap tidak stabil.
- Contoh nyata: Polri bertahun-tahun berusaha membangun citra “Presisi”, tapi publik tetap tidak percaya. Alhasil, kriminalitas malah makin berani.
Branding bukan cuma soal slogan atau kampanye. Tindakan nyata lebih penting. Misalnya, jika pemerintah ingin dianggap “merakyat”, tapi pejabatnya masih gemar konvoi dengan mobil mewah dan pengawalan berlebihan, rakyat pasti akan kecewa.