Oleh: Eileen Rachman & Daniel Christiananda
Budaya kerja terus mengalami perubahan. Generasi baru yang kini mendominasi dunia profesional tidak lagi tergerak oleh bonus semata atau takut pada sanksi. Mereka mencari makna, ruang berkembang, dan hubungan yang setara.
Sayangnya, banyak organisasi masih mengandalkan pola lama: memberi imbalan bagi yang patuh dan mencapai target, serta menjatuhkan sanksi bagi yang melanggar. Pendekatan “carrot and stick” ini kian kehilangan daya dorongnya.
Model tersebut menciptakan relasi kerja yang transaksional. Karyawan pun mulai berhitung: “Apa manfaatnya buat saya?” sebelum mengambil inisiatif. Rasa kepemilikan memudar, loyalitas ikut melemah.
Fenomena seperti quiet quitting, pengunduran diri mendadak, hingga bare minimum Mondays—kerja seminimal mungkin di awal pekan—muncul di berbagai sektor. Bukan karena karyawan malas, melainkan karena mereka kehilangan alasan untuk terlibat sepenuh hati.
Kini, keterlibatan emosional menjadi kunci. Simon Sinek pernah berkata, “Saat orang berinvestasi secara finansial, mereka mengharapkan keuntungan. Tapi saat mereka berinvestasi secara emosional, mereka ingin berkontribusi.”
Organisasi tidak bisa lagi hanya fokus pada untung-rugi. Mereka perlu membangun budaya yang menggerakkan dari dalam.
Budaya yang Membangun Koneksi
Salah satu contoh datang dari Salesforce, perusahaan teknologi global yang menerapkan budaya Ohana, terinspirasi dari nilai kekeluargaan di Hawaii. Di sana, karyawan diperlakukan sebagai bagian dari komunitas, diberi ruang menyuarakan pendapat, dan dilibatkan dalam pengambilan keputusan.
Hasilnya? Tingkat kepuasan meningkat, retensi membaik, dan kolaborasi tumbuh. Hubungan menjadi lebih penting daripada sekadar hasil akhir.
Ruang Tumbuh: Kebutuhan yang Sering Diabaikan
Pada dasarnya, manusia adalah pembelajar. Proses menguasai hal baru sejak kecil membentuk rasa percaya diri dan kebanggaan. Semangat ini tak hilang saat dewasa—justru meningkat saat diberi tantangan dan kepercayaan.