Oleh Farid Gaban
Banyak sekolah di pelosok itu belum sama sekali menikmati program makan siang gratis yang digembar-gemborkan pemerintah.
Tapi, bahkan di pelosok itu kita sebenarnya bisa menemukan inspirasi bagaimana menjalankan program ini dengan lebih baik dan efektif.
Di Desa Talunombo, satu jam bermotor dari pusat kota kecamatan Wonosobo sini, saya bertemu Badarudin, kepala desa setempat. Masih relatif muda namun punya pikiran progresif untuk memajukan desanya.
Talunombo salah satu dari banyak desa yang belum tersentuh program makan siang gratis. Padahal warga desa itu, khususnya kaum perempuan, punya potensi untuk mengelola program ini dengan baik.
Selama ini, kaum perempuan desa itu telah berpengalaman menyediakan makanan dalam jumlah besar untuk acara-acara tertentu di desa, seperti rapat desa, atau jika ada tamu. Ini desa yang sering dikunjungi anak-anak sekolah dari luar kota yang ingin belajar pertanian (agro-edu-wisata).
Ibu-ibu menyediakan makanan dari bahan-bahan yang berasal dari desa setempat: telur, daging ayam, ikan dan sayuran. Kemasannya sederhana, dari kardus, bukan baki stainless steel impor.
“Ini cara sederhana untuk menumbuhkan pertanian di desa dan meningkatkan income kaum perempuan,” kata Badarudin.
Jika dirancang dan dikelola dengan tepat, program MSG bisa benar-benar meningkatkan gizi anak sekolah sekaligus membangkitkan ekonomi desa termasuk menyediakan lapangan kerja.
Jadi, tidak ada dikotomi seperti dikatakan Menteri/Kepala Bappenas, bahwa program MSG lebih penting dari menyediakan lapangan kerja. Keduanya bisa berjalan seiring.
Pemerintah tetap harus menyediakan dana untuk program MSG ini, tapi jumlahnya mungkin tidak sebanyak yang sekarang dibayangkan jika memberdayakan warga desa.