Masjid Inklusif: Melampaui yang Ritual

Dari hampir 700 ribu, hanya terdapat 3 persen masjid inklusif. Masjid kementerian malah terpapar radikalisme.

Majalah Tempo, 30 Maret 2025

Dulu, ketika masjid masih disebut surau atau langgar dan masigit, tempat ibadah umat Islam ini menjadi tempat pertemuan apa saja. Di kampung-kampung, setidaknya dalam lanskap sastra pada 1970-1980-an, masjid adalah tempat paling inklusif, bukan sekadar tempat bersujud dan bersembahyang.

Lalu perkembangan datang, modernisasi merangsek ke pelosok dusun. Kita pun membangun masjid, dengan beton memperbesarnya, dengan keramik menjadikannya megah, dengan alat-alat elektronik yang mahal sebagai penopang syiar.

Masjid pun menjadi tidak aman. Pintunya harus dikunci, gerbangnya harus digembok. Anak-anak tak bisa sembarangan bermain ke masjid. Orang-orang tua hanya singgah ketika akan menunaikan salat. Masjid menjadi tempat paling sepi di kampung, apalagi di kota-kota besar. Para musafir hanya bisa bersembahyang atau beristirahat di terasnya jika mereka tiba di luar waktu sala

Alienasi yang membuat masjid jadi eksklusif ini pun menjadi tempat subur penyebaran paham yang merenggangkan kohesi sosial. Menurut survei Lembaga Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat Nahdlatul Ulama pada 2018, sebanyak 41 persen masjid di kantor lembaga negara mengajarkan paham radikalisme.

Kita pun kehilangan esensi pembangunan masjid. Dalam Surat At-Taubah ayat 107, Nabi Muhammad sudah mengingatkan agar kita tak terpecah oleh paham dan hasutan. Ayat itu menceritakan bagaimana kaum munafik memecah belah pengikut Muhammad dengan membangun masjid tak jauh dari Masjid Quba’ di Madinah, di awal Rasul hijrah dari Mekah. Pelan-pelan kehadiran masjid baru itu membuat jemaah Masjid Quba’ berkurang.

Perselisihan kecil di antara pengikut Muhammad muncul tentang perbedaan pandangan di luar hal-hal prinsip. Kaum munafik menghindari salat dengan bersembunyi di masjid ini. Masjid baru itu bahkan dipakai untuk merencanakan makar kepada Muhammad. Sampai akhirnya Nabi Muhammad memerintahkan masjid itu dihancurkan. 

Tafsir Tahlili bahkan menjadikan ayat At-Taubah itu basis larangan membangun masjid secara berdekatan karena memicu eksklusivitas. Itulah sebabnya salat Jumat, sembahyang raya umat Islam setiap pekan, dianjurkan dilaksanakan di satu masjid dalam satu wilayah. Sejak awal Nabi Muhammad mendirikan masjid sebagai rendezvous yang mengeratkan pertemuan, modal sosial, hingga pemberdayaan.

Sistem Informasi Masjid Kementerian Agama mencatat setidaknya ada 690 ribu masjid terbesar di seluruh Indonesia. Namun hanya 3 persen yang dikelola secara inklusif. Masjid-masjid ini selalu terbuka, ramah terhadap difabel, sadar lingkungan hidup, hingga menjadi tempat pulang bagi mereka yang tak punya rumah. Masjid-masjid ini mengembalikan esensi pendirian tempat ibadah seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad.

Minimnya jumlah masjid inklusif ini barangkali yang menjadi sebab gerakan keagamaan tak selalu menjadi solusi dalam urusan-urusan sosial masyarakat. Agama menjauh dari tugas utamanya menjadi pemecah masalah orang banyak. Itulah sebabnya mantan wakil presiden Jusuf Kalla, yang kini menjabat Ketua Dewan Masjid Indonesia, mengatakan masjid makin banyak dan makin bagus tapi masyarakat di sekitarnya tidak makmur.

Kuliner Kaki Lima Naik Kelas di Artotel Gelora Senayan

Pecinta kuliner nusantara, siap-siap dimanjakan lidahnya! Artotel Gelora Senayan kembali menghadirkan program spesial yang...

Lepas Tukik, Rayakan Bumi

Dalam semangat menyambut Hari Bumi 2025, 1O1 Style Yogyakarta Malioboro menunjukkan bahwa kepedulian lingkungan...

Percuma Feed Estetik Kalau Story Sepi: Strategi Bisnis di Instagram 2025

Algoritma Instagram di 2025 sudah berubah: feed bukan lagi fokus utama, Story dan interaksi...

- A word from our sponsor -

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here