Malu Aku Jadi Bangsa Kurang Terdidik

Begitu banyak masalah bangsa sukar diselesaikan, saya pikir karena soal belum semua warga bangsa sudah terdidik. Tujuan pendidikan bukan hanya menambah ilmu, menajamkan otak kiri semata, melainkan menjadikan anak-anak manusia beradab. Itu maka pendidikan budi pekerti menjadi utama.

Selama lebih lima dasarwarna kita membiarkan internalisasi budi pekerti terabaikan. Banyak warga bangsa yang pintar, tapi kurang, atau malah tidak beradab. Tidak hormat pada kehidupan, tidak menghargai orang lain, tidak tahu tata krama, bisa jadi tidak profesional, lantaran yang tajam hanya otak kirinya.

Saya mendapat kesan tidak semua yang saya kenal orang terdidik tahu aturan. Sekolah dasar Jepang membutuhkan 4 tahun untuk mendidik anak bertata krama. Pendidikan Barat juga mendahulukan pendidikan dasar untuk tiga kebiasaan bersikap: mengucapkan terima kasih – maaf – dan tolong.

Anak-anak Jepang menghormati orang yang lebih tua dengan tulus bukan basa-basi karena sudah mendarah daging sejak usia PAUD. Mereka dibiasakan misal wajib membungkuk dalam-dalam sebelum sopir bus sekolah yang mengantarkannya beranjak pergi. Begitu juga setelah mereka dewasa.

Namun yang kita saksikan, jangankan generasi setelah Baby Boomers yang tak punya unggah ungguh, dan bertata krama, mereka yang lahir sebelum 70-an pun masih ada yang tidak tahu aturan dalam pergaulan sosial. Menyerobot antrean, buang sampah dari jendela mobil, cara bergaul, cara berkomunikasi, tak mencerminkan mereka orang terdidik, bahkan bila sudah meraih guru besar sekalipun.

Saya mencatat ada orang-orang terdidik, cara mereka ber-WA yang kurang bertata krama, alih-alih berterima kasih setelah ditolong, atau berbasi-basi. Itu maka sering kita dengar lebih susah mendidik kebiasaan mengantre, dibanding mengajarkan matematika.

Saya termasuk angkatan yang dididik berbudi pekerti, ikut aturan, bertata krama, maka agak tidak nyaman kalau menghadapi pihak-pihak yang saya anggap beradab, caranya bergaul, caranya berkomunikasi, tidak menunjukkan orang yang berpendidikan.

Ada nama besar di situ, bergelar akademisnya sudah berjenjang tinggi, tapi kelakuannya, sikap-laku-pikirnya, membuat kita tidak respek lagi.

Makin merata pendidikan suatu bangsa, makin menghargai, menghormati orang lain. Makin merata pendidikan, makin tidak pelik menyelesaikan masalah sosial bangsa.

Masalah sampah kita setelah merdeka sekian lama masih pelik diatasi, karena sukar mengubah kebiasaan buang sampah sembarangan, bahkan sungai dan laut kita sudah menjadi tong sampah terbesar. Itu pula dampaknya terhadap kejadian banjir. Itu pula peliknya mengajak masyarakat vaksinasi, mengajak hidup tertib.

Hal lain, sopan santun bangsa tercermin dari lalu lintasnya. Bukan saja melanggar rambu, tapi tidak menghormati pengendara lain.

Yang keluaran sekolahan saja pun kita menyaksikan ada yang kurang bertatakrama, apalagi yang tidak bersekolah. Kalau ada yang keluaran sekolah tergolong beradab itu karena peran orangtua di rumah.

Itu maka saya pikir untuk menciptakan anak berbudi luhur, bertatakrama, beradab, peran sekolah perdana sangat penting, sebagaimana Jepang melakukannya.

Sekolah kita mendahulukan anak pandai berhitung baca tulis semata, anak TK sudah seremonial diwisuda, orangtua mencuri umur supaya bisa lebih dini masuk sekolah, tak peduli apa sudah merampas hari bermain anak, memaksa anak berpestasi, tapi kehilangan waktu bermainnya, masih tanpa menanamkan budi pekerti pula.

Pendidikan agama, pendidikan Pancasila, saya pikir tidak serta merta membuat anak berbudi pekerti luhur. Ada keterpisahan antara taat bergama dengan keberadaban. Kita melihat orang dengan mengenakan label keberagamaan namun tidak bertatakrama, tidak berbudi pekerti.

Banyak negara yang tidak mempertimbangkan agama untuk urusan politik, memilih pemimpin, memilih mitra, dan pergaulan sosial, tapi lebih beradab dibanding warga bangsa yang selalu mempertimbangkan agama. Tempat ibadah selalu penuh pengunjung, tapi korupsi tetap banyak. Ini soal keberimanan. Taat beragama belum tentu iman naik kelas, belum tentu pula otomatis beradab.

Semua masalah besar bangsa terkait dengan pendidikan. Kesehatan, kesejahteraan, partisipasi angkatan kerja usia di bawah umur, gini ratio sehingga terus menerus kesenjangan ekonomi itu menganga, serta pelbagai kepelikan lain mengurus bangsa.

Pendidikan yang mengasah nalar etis, nalar literasi, dan nalar ilmu. Hanya apabila ketiga nalar itu terasah, maka tidak mudah percaya hoaks, tidak subur terapi alternatif di TV yang ratingnya masih tinggi, dan batu wangsit dari langit Ponari, atau sejenis babi ngepet masih dipercaya setingkat kalangan pejabat.

Anggaran pendidikan sekarang sudah jauh berada di atas, tapi untuk mendidik apa supaya menjadi anak didik yang bagaimana, barangkali itu yang perlu dipikirkan.

Anak pintar banyak. Tapi orang baik tidak banyak. Lebih baik memilih calon pemimpian tidak pintar tapi baik, daripada memilih orang pintar tapi tidak baik.

Jadi tugas pendidikan sejatinya menjadikan anak didik menjadi orang baik. Orang baik itu orang yang keberadabannya tinggi. Mereka yang berdisiplin dalam hidup yakni: yang menjunjung tinggi kebenaran, menerima tanggung jawab, menunda kepuasan, dan hidup seimbang dunia-akhirat.

Selamat Hari Pendidikan, Mas Menteri Nadiem Makarim.

Kami ingin warga bangsa kita berisi orang baik. Tugas mulia itu sekarang ada di bahu Anda.

Salam beradab,
Dr Handrawan Nadesul

Tasrih Ketakutan dari Joko Anwar

Resensi Film Siksa Kubur Oleh Akmal Nasery Basral Mengisi libur Idul Fitri dengan film horor di...

15 Gerai Starbucks Tercantik yang Layak Dikunjungi Selama Liburan

Libur Lebaran adalah saat yang spesial untuk berkumpul dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Namun,...

Embark on a Blissful Eid al-Fitr Getaway with Le Méridien Jakarta’s Family-Friendly Package

As the joyous occasion of Eid al-Fitr approaches, Le Meridien Jakarta is thrilled to announce...

- A word from our sponsor -