Oleh: Safaruddin Husada
Di tengah perubahan lanskap komunikasi politik Indonesia, muncul sebuah fenomena yang memicu perdebatan tajam: “Gubernur Konten”. Istilah ini merujuk pada kepala daerah yang menjadikan produksi konten media sosial sebagai bagian sentral dari gaya kepemimpinan dan strategi komunikasinya.
Tokoh paling menonjol dalam fenomena ini adalah Dedi Mulyadi—mantan Bupati Purwakarta, mantan anggota DPR, dan kini dikenal luas lewat kanal YouTube-nya yang penuh dokumentasi kehidupan warga, masalah sosial, serta aksi langsung dirinya sebagai pemimpin.
Dengan lebih dari 6,8 juta pelanggan di YouTube dan ribuan video yang telah diproduksi, Dedi tidak hanya mengubah cara kepala daerah berkomunikasi dengan rakyat, tetapi juga memperlihatkan bahwa konten digital dapat menjadi alat politik yang sangat efektif.
Namun, apakah gaya ini mencerminkan model komunikasi ideal untuk Indonesia? Apakah ini sebuah inovasi atau sekadar ilusi tata kelola?
Komunikasi Gaya Baru: Murah, Dekat, dan Menyentuh
Dedi Mulyadi mengklaim bahwa gaya komunikasinya berhasil menghemat anggaran negara. Ia menyebut mampu menurunkan belanja kerja sama media dari Rp50 miliar menjadi hanya Rp3 miliar, dengan tetap mempertahankan jangkauan dan daya tarik publik (CNN Indonesia, 2024).
Di era anggaran terbatas, efisiensi semacam ini jelas menjadi nilai tambah. Komunikasi daring memungkinkan pemimpin melewati perantara media tradisional dan menyapa publik secara langsung.
Bacaan Menarik: Kopi 4.0, Ketika Bisnis, Budaya, dan Gaya Hidup Berkolabotrasi
Studi oleh Enli dan Skogerbø (2013) menunjukkan bahwa politisi yang menggunakan media sosial dengan gaya personal dan otentik memiliki peluang lebih besar untuk membangun loyalitas audiens. Dalam konteks ini, Dedi membangun citra pemimpin yang “turun langsung”, mendengar keluhan warga, bahkan mengantarkan bantuan secara spontan.
Strategi ini menciptakan keterhubungan emosional yang dalam dengan rakyat, sebuah aspek penting dalam teori personal branding politik (Scammell, 2007).
Dalam studi komunikasi strategis, otentisitas (authenticity) bukan sekadar gaya, tetapi strategi jangka panjang. Molleda (2010) menyatakan bahwa komunikasi yang otentik hanya bisa teruji melalui konsistensi dalam waktu.