Apa yang membuat sebuah tim bisa solid, nyaman, dan produktif? Jawabannya bisa jadi sesederhana: komunikasi. Tapi tentu bukan sembarang komunikasi. Itulah yang menjadi sorotan dalam sesi sharing inspiratif bertajuk “Check Your Communication Capability”, yang dihelat oleh Yayasan Pusaka PT Kereta Api Indonesia (Persero) pada 3 Juni 2025 lalu di Auditorium Kantor Pusat KAI, Bandung.
Kegiatan ini merupakan bagian dari program rutin pengembangan kompetensi karyawan—dan kali ini, topik komunikasi jadi bintang utamanya. Karena siapa sangka, urusan menyampaikan pesan ternyata bisa serumit membaca peta tanpa kompas, kalau tidak tahu cara dan arahnya.
“Komunikasi itu bukan cuma soal ngomong,” ujar Rosma Handayani, Direktur SDM & Umum PT KAI, dalam sambutannya. “Tapi tentang bagaimana menyelaraskan hati dan pikiran. Seorang pemimpin yang hebat bukan hanya jago teknis, tapi juga mampu menjaga harmoni lewat komunikasi yang tepat.”
Senada dengan itu, Joko Margono, Ketua Pengurus Yayasan Pusaka, menegaskan pentingnya tema ini. “Kami rutin mengadakan sesi pengembangan SDM, dan kali ini kami angkat komunikasi karena sering kali justru di sinilah akar dari banyak masalah dalam pekerjaan,” katanya lugas.
Belajar Bicara dengan Tujuan
Sesi ini menghadirkan dua pembicara yang sudah terbukti jam terbangnya di dunia komunikasi. Ika Sastrosoebroto, pakar komunikasi yang dikenal dengan pendekatannya yang membumi, membahas mulai dari dasar-dasar komunikasi, pentingnya mengenali “noise” dalam penyampaian pesan, hingga tantangan era digital yang kerap membuat pesan terdistorsi.
Di sisi lain, Andri Nooriman, praktisi branding dan komunikasi strategis, mengajak peserta memahami sisi emosional dalam menyampaikan pesan: “Penting untuk tahu mood, tahu siapa lawan bicara kita, dan memilih waktu yang pas. Komunikasi yang berhasil bukan soal banyaknya kata, tapi ketepatan menyampaikannya.”
Bukan Sekadar Duduk dan Dengar
Yang membuat sesi ini menarik, semua peserta diajak aktif mengevaluasi gaya komunikasi masing-masing. Ada diskusi, latihan, bahkan simulasi yang menyenangkan tapi tetap bermakna. Beberapa peserta tampak mencatat serius, sebagian lainnya saling tukar cerita—tentang bagaimana pesan yang maksudnya baik, bisa diterima sebaliknya karena cara menyampaikannya kurang pas.
Antusiasme peserta membuktikan satu hal: komunikasi yang baik bukan keahlian bawaan, tapi bisa dipelajari dan diasah. Dan ketika tiap individu dalam organisasi sadar akan pentingnya cara berkomunikasi, maka kolaborasi dan pelayanan prima bukan lagi sekadar target, melainkan budaya kerja sehari-hari.
Karena pada akhirnya, komunikasi yang menyentuh bukan hanya soal berbicara—tapi soal bagaimana kita hadir, mendengar, dan menggerakkan.