Perlindungan Hukum & Harapan di Tengah Stigma
Dalam kasus-kasus hukum yang melibatkan perempuan, seperti yang dialami oleh Kasmayuni, ada satu isu yang seringkali tak terdengar: betapa cepatnya opini publik meruntuhkan nama baik seorang perempuan sebelum kebenaran dibuktikan.
Di Indonesia, setiap warga negara memiliki hak untuk diperlakukan setara di mata hukum, termasuk dalam prinsip praduga tak bersalah (presumption of innocence). Namun dalam praktiknya, perempuan kerap menghadapi tekanan ganda—baik dari sisi hukum maupun dari opini masyarakat.
Apa yang Bisa Dilakukan Perempuan Saat Nama Baiknya Tercemar?
1. Tetap tenang dan kumpulkan bukti.
Jika Anda menjadi korban pemberitaan yang tidak akurat atau tuduhan yang belum terbukti, penting untuk mengarsipkan semua bukti komunikasi, jejak digital, dan kronologi kejadian. Ini akan menjadi bagian penting dalam pembelaan hukum.
2. Gunakan hak jawab.
Undang-undang Pers di Indonesia melindungi hak masyarakat untuk memberikan klarifikasi atau hak jawab terhadap pemberitaan media yang dirasa merugikan.
3. Konsultasi dengan pendamping hukum dan psikolog.
Tak hanya soal pembelaan hukum, tekanan psikologis dalam kasus seperti ini sangat besar. Jangan ragu untuk mencari dukungan dari kuasa hukum perempuan, LBH perempuan, atau psikolog.
4. Jaga reputasi digital.
Dalam era digital, jejak daring bisa berdampak besar. Manfaatkan media sosial secara bijak untuk menyampaikan klarifikasi dan menunjukkan sikap positif. Namun pastikan setiap unggahan dikonsultasikan terlebih dahulu agar tidak memperkeruh masalah hukum yang sedang berjalan.
Hukum, Empati, dan Keadilan
Di luar perkara personal antara Kasmayuni dan pihak pelapor, kasus ini mengajak kita merenungkan: sudahkah sistem hukum dan media kita berpihak pada keadilan yang utuh—bukan hanya kecepatan viral?
Karena perempuan juga manusia. Punya masa lalu. Punya cerita. Punya hak untuk didengar tanpa langsung dicap bersalah. Dan punya hak untuk memperjuangkan nama baiknya—dengan kepala tegak. (*)