Oleh: Eileen Rachman & Linawaty Mustopoh
Di tengah maraknya korupsi dan ketidakjujuran, ada satu langkah yang jarang diambil tapi mulai menunjukkan dampak besar: memasukkan nilai-nilai spiritual dalam kepemimpinan.
Di saat dunia kerja sedang tergila-gila pada inovasi dan digitalisasi demi bertahan di era disrupsi, kadang kita lupa bahwa yang paling penting tetap manusia dan nilai-nilai moral.
Kepemimpinan spiritual hadir sebagai angin sejuk yang menyegarkan—menawarkan cara memimpin yang lebih beretika, manusiawi, dan bermakna. Bukan sekadar idealisme, ini adalah kebutuhan nyata di tengah dunia yang makin kompleks dan penuh tekanan.
Bukan Soal Agama, Tapi Soal Nilai
Masih banyak yang mengira “kepemimpinan spiritual” itu harus religius atau berkaitan langsung dengan agama tertentu. Padahal, inti dari konsep ini adalah soal integritas, kejujuran, dan tanggung jawab terhadap orang lain.
Pemimpin spiritual bukan yang selalu bicara soal keimanan di kantor, tapi yang memimpin dengan hati. Ia punya visi besar yang bukan cuma mengejar angka keuntungan, tapi juga kesejahteraan tim dan dampak positif bagi sekitar. Ia membangun hubungan yang hangat dan penuh empati—yang makin langka di dunia kerja serba cepat saat ini.
Di Tengah Tekanan, Jangan Lupakan Nilai
Kita paham, tekanan bisnis sekarang luar biasa. Perubahan ekonomi, kebijakan yang berubah-ubah, hingga tuntutan teknologi yang terus berkembang membuat banyak pemimpin fokus pada “gimana caranya tetap jalan”. Tapi justru di situlah tantangan kepemimpinan spiritual dimulai.
Godaan untuk ambil jalan pintas pasti ada. Tapi kalau nilai-nilai dasar kita goyah, dampaknya bisa jauh lebih panjang. Pemimpin yang punya spiritualitas kuat mampu melihat lebih jauh ke depan, menyelesaikan masalah bukan hanya dengan logika, tapi juga perenungan dan kebijaksanaan.
Di dunia kerja yang makin hybrid dan tersebar, spiritualitas membantu membangun sesuatu yang langka: kepercayaan. Dan kepercayaan ini tumbuh dari nilai-nilai yang sudah kita tanam sejak awal.
Contoh Nyata: Gus Dur dan Nurhayati Subakat
KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur adalah contoh nyata pemimpin spiritual yang membawa nilai-nilai cinta tanpa pamrih dalam setiap kebijakannya. Ia mencabut larangan perayaan Imlek, berdialog dengan kelompok berbeda pandangan, dan hidup dengan kesederhanaan yang mencerminkan filosofi hidupnya: pemimpin adalah pelayan, bukan penguasa.
Contoh lainnya datang dari dunia bisnis. Nurhayati Subakat, pendiri Paragon (produsen Wardah, Make Over, dkk), menghadapi tantangan besar saat pabriknya terbakar habis. Tapi alih-alih menyerah, ia memilih untuk bangkit, berpegang pada keimanan dan nilai spiritual yang jadi fondasi perusahaannya.