Beberapa waktu lalu, linimasa media sosial ramai membahas pernyataan bahwa “orang miskin di Indonesia itu yang pengeluarannya di bawah Rp20 ribu per hari.” Banyak yang geleng-geleng kepala. Masa iya, makan, transportasi, dan kebutuhan harian lainnya bisa ditutup dengan uang segitu?
Komentar warganet pun mengalir deras. Ada yang mencoba tantangan hidup dengan Rp20 ribu sehari, ada yang membagikan struk belanja Rp30 ribu cuma buat makan siang satu orang.
Tapi dari kehebohan ini, muncul pertanyaan penting: sebenarnya, apa sih ukuran miskin menurut negara? Dan, apakah masih relevan dengan kondisi sekarang?
Ukuran Miskin Versi Negara
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), seseorang disebut miskin jika pengeluarannya di bawah Rp595.242 per bulan. Kalau dibagi per hari, itu berarti sekitar Rp19.841. Angka ini bukan sekadar asal sebut; BPS menghitungnya berdasarkan kebutuhan dasar makanan dan non-makanan — mulai dari beras, lauk-pauk, transportasi, hingga sabun mandi.
Masalahnya, angka itu terlihat “ketinggalan zaman” bagi sebagian orang. Harga-harga naik, ongkos hidup makin mahal, dan pengeluaran tak lagi bisa ditekan hanya dengan hidup hemat. Karena itu, tak heran banyak yang mempertanyakan relevansi garis kemiskinan ini.
Standar Bank Dunia: Lebih Realistis?
Berbeda dari BPS, Bank Dunia punya standar yang lebih ketat (atau justru lebih realistis?). Mereka menilai kemiskinan berdasarkan status ekonomi suatu negara.
Untuk Indonesia, yang dikategorikan sebagai negara berpendapatan menengah atas, garis kemiskinannya adalah US$6,85 per hari — atau sekitar Rp113 ribu per kapita per hari (dengan kurs saat ini).
Dengan patokan ini, lebih dari 60% warga Indonesia masuk kategori miskin. Artinya, mayoritas orang sebenarnya belum mencapai taraf hidup yang layak menurut standar global.
Jadi, Miskin Itu Siapa?
Sebenarnya, ukuran “miskin” bukan cuma soal angka. Itu juga soal akses: apakah seseorang bisa mengakses makanan bergizi, pendidikan yang layak, layanan kesehatan, atau tempat tinggal yang aman? Angka bisa jadi patokan, tapi hidup jauh lebih kompleks dari sekadar nominal pengeluaran.
Wacana soal garis kemiskinan ini penting karena berkaitan dengan kebijakan. Jika garisnya terlalu rendah, maka banyak orang tak tersentuh bantuan — padahal hidup mereka masih jauh dari sejahtera.