Di era digital, reputasi bukan hanya soal apa yang terlihat di layar, tetapi juga tentang jejak yang tertinggal di hati dan memori orang lain.
Oleh Safaruddin Husada
Di dunia politik Indonesia, skandal bukanlah hal yang asing. Namun, dari sekian banyak kontroversi, skandal seks selalu menjadi yang paling menyita perhatian. Tak hanya mengguncang panggung politik, jenis skandal ini juga menghancurkan citra pribadi yang telah dibangun selama bertahun-tahun.
Ia memunculkan sisi paling gelap dari seorang tokoh publik: celah rapuh yang tidak bisa ditutup oleh pencitraan.
Salah satu kasus yang paling membekas terjadi pada akhir 2006, ketika video mesum antara seorang penyanyi dangdut dan seorang anggota DPR tersebar luas. Kala itu, publik geger. Wakil rakyat yang tengah menjabat sebagai anggota DPR 2004–2009 itu akhirnya mengundurkan diri dari jabatannya di partai dan di parlemen.
Namun, beberapa tahun kemudian, ia kembali ke panggung politik, membuktikan bahwa pemulihan citra, meskipun sulit, tetap mungkin.
Tahun 2012, giliran seorang bupati di Jawa Barat tersandung kasus. Ia dinilai tak pantas sebagai pemimpin setelah kedapatan menikahi seorang gadis hanya selama empat hari, lalu menceraikannya via layanan pesan singkat (SMS).
Isu ini memicu kemarahan publik dan membuat DPRD di kabupaten tersebut memakzulkannya. Skandal ini menegaskan bahwa kehormatan jabatan bisa hilang hanya dalam hitungan hari jika etika ditanggalkan.
Pada Januari 2017, publik kembali diguncang ketika seorang bupati di Kalimantan Tengah tertangkap basah sedang tidur tanpa busana bersama seorang perempuan yang bukan istrinya. Meskipun kasus ini berakhir damai karena pelapor mencabut laporan, tindakan tersebut membuatnya kehilangan jabatan dan kepercayaan publik.
Sementara itu, pada 2008, Wakil Ketua Komisi XI DPR kala itu terjerat kasus ketika beredar foto-foto dirinya dalam posisi vulgar dengan sekretarisnya. Ia sempat membantah tuduhan pemaksaan dan pelecehan. Namun, Badan Kehormatan DPR memutuskan memecatnya karena pelanggaran etika berat.