Go Digital, Solusi Bisnis New Normal

Oleh Suryo Winarno

Pandemi Corona telah merusak sendi-sendi perekonomian 210 negara, termasuk di Indonesia. Dampak pandemi pembengkaan utang dan defisit belanja negara. Selain itu, pandemi korona menimbulkan korporasi berguguran diikuti berkurangnya lapangan kerja. Untunglah ditengah krisis ekonomi, teknologi informasi mampu mengendalikan kontraksi ekonomi.

Seperti diketahui kenaikan utang negara era pandemi karena korporasi gugur tanpa bisa dihentikan oleh manajemen dan pemerintah memasuki bulan April – Desember 2020. Periode tersebut korporasi yang terdampak pandemi langsung adalah sektor jasa seperti pasiwisata, perhotelan, restoran, transportasi (udara, laut, darat), eksibisi, dan toko ritel.

Terjadinya keguguran korporasi karena pemerintah membatasi mobilitas manusia yang bertujuan menekan infeksi virus Covid-19 dan korban meninggal dunia tinggi. Hal ini berakibat dunia korporasi kehilangan pembeli. Seiring dengan berjalan waktu pandemi melaju tingkat tinggi, korporasi mengurangi dan menghentikan jam kerja, akkhirnya karyawan dikurangi dan pemutusan kerja.

Kondisi ini menyebabkan korporasi tidak bisa berkontribusi kepada negara melalui pajak, padahal pemerintah membutuhkan dana untuk membeayai berbagai subsidi masyarakat tidak mampu, gaji pegawai negeri, dan pembangunan ekonomi. Implikasinya pemerintah menerbitkan obligasi domestik dan hutang bilateral untuk memenuhi belanja negara.

Inilah rentetan awal pembengkaan utang negara era pandemi tanpa berhenti hingga kini. Utang pemerintah hingga Februari 2021 sebesar Rp 6.361 triliun untuk berbagai subsidi usaha, masyarakat miskin, pemulihan ekonomi yang mencegah kerusakan ekonomi dengan prestasi kontraksi minus 2 persen pada tahun lalu. Sementara utang akhir 2020 sebesar Rp 6.074,56 triliun. Posisi utang ini naik tajam dibanding akhir tahun 2019 sebesar Rp 4.778 triliun.

DAMPAK PANDEMI

Bagaimana nasib korporasi saat pandemi? Selama pandemi korporasi ritel menutup 400 gerei minimarket. Periode Maret-Desember 2020 korporasi menutup supermarket rata-rata 5-6 gerai per hari. Januari-Maret 2021 rata-rata 1-2 toko tutup tiap hari. Pada Juli 2021 hipermarket menutup 75 gerai dengan pemutusan hubungan kerja 3.000 orang.

Banyaknya gerei yang ditutup menciptakan efek berantai. Karena berbagai sektor industri terkena dampak lansung mengingat toko ritel merupakan media promosi dan transaksi secara konvensional. Industri terdampak langung meliputi produksi makanan dan minuman, elektronik, bahan kimia dan barang dari bahan kimia, dan barang konsumen kebutuhan sehari-hari.

Tutupnya toko ritel disebabkan sejumlah faktor yaitu pembatasan mobilitas masyarakat, penjualan menurun, beaya operasional lebih besar dari pendapatan, kenaikan pamor belanja daring yang tumbuh pada 2010 dengan berani memberikan potongan harga dan pelayanan cepat kepada konsumen.

Dengan pembatasan sosial menyebabkan kegiatan masyarakat sangat terbatas, berkunjung ke mal dan toko ritel menjadi berkurang berimplikasi penjualan ritel turun tajam. Jika kondisi penjualan melaju turun memukul keuangan korporasi yang menimbulkan defisit akibat pemasukan lebih kecil dibanding pengeluaran.

Sebagai gambaran penjualan minus toko ritel sejak Januari 2020-Februari 2021, namun April 2021 surplus 9,79 persen. Penjualan toko ritel minus berfluktuasi, dari -0,27 persen sampai -20,61 persen. Mei 2020 merupakan penjualan ritel minus tertinggi sebesar 20,61 persen, Desember 2020 minus 19,15 persen, dan Februari 2021 minus 18,13 persen, Juni 2020 minus 17,13 persen. Lantas apa solusi ditengah pandemi?

GO DIGITAL

Teknologi informasi yang berwujud e-commerce menyelamatkan ekonomi dari kontraksi. Sebelum pandemi e-commerce sudah bergerilya secara bertahap namun nilai penjualan relatif tinggi. Dengan munculnya pandemi Corona memicu bisnis e-commerce melaju lebih tinggi.

Periode 2014 – 2020 nilai transaksi digital US$ 1,9 miliar, US$ 3,2 miliar, US$ 5,8 miliar, US$ 7,1 miliar, US$ 8,6 miliar, US$ 10,4 miliar, US$ 12,3 miliar. Menurut estimasi tahun 2021 nilai transaski e commerce sebesar US$ 14,4 miliar dan 2022 US$ 16,5 miliar. Berdasarkan data tersebut transaksi digital pantas dikawal agar menghasilkan lapangan kerja lebih luas dan pajak bagi penerimaan pemerintah.

Siapakah konsumen digital? Ternyata generasi X (usia 46 ke atas) dan generasi baby boomers (usia 55 tahun ke atas) berbelanja lewat digital paling banyak dibandingkan konsumen milenial maupun generasi berikutnya. Mencermati kenyataan tersebut, kini mematahkan mitos e-commerce hanya ramai digemari generasi milenial dan generasi muda (Z).

Generasi baby boomers bertransaksi belanja 19 produk dan 13 kali transaksi. Kelompok usia 46-55 tahun dan 36-45 tahun belanja produk 18 produk dan 12 kali transaksi. Konsumen muda meliputi milenial dan generasi Z sedikit membeli produk dan transaksi, yaitu belanja 16 produk dan 10 transaksi. Kelompok paling muda usia 15-25 tahun belanja 13 produk dan 9 kali transaksi.

Akhirnya, digital marketing telah memasuki semua generasi tanpa ada kecuali. Pemakaian teknologi informasi mencapai 170 juta orang. Sebuah potensi bisnis yang mengiurkan bagi yang tajam naluri bisnis inteligen. Semoga fakta ini membuka wawasan insan Indonesia ditengah menghadapi pandemi naik lagi dan pengangguran ke tingkat tinggi.

Suryo Winarno adalah Praktisi Ekonomi-Industri dan Energi.

Destinasi Terbaik Wisata di Indonesia

DestinAsian Umumkan Pemenang dari Poling Readers’ Choice Awards 2024 Majalah DestinAsian sekali lagi mengumumkan hasil...

Vasaka Hotel Jakarta Sinergi Berbagi di Ramadhan

Tepat pada 23 Maret 2024, Vasaka Hotel Jakarta managed by Dafam menyelenggarakan acara buka...

Program Stiker Drive-Thru Pertama Starbucks di Indonesia

Meriahkan Ramadan Starbucks mengusung tema "A Cup of Kindness" pada Ramadan tahun ini dengan...

- A word from our sponsor -