Awal tahun 2025 menjadi periode kelam bagi perekonomian Indonesia. Pertumbuhan ekonomi di kuartal pertama nyaris tak bergerak, hanya 4,8–4,9%—angka terendah sejak pandemi Covid-19. Padahal, biasanya Ramadan dan Lebaran jadi momentum pemulihan. Tapi tahun ini, malah jadi penanda melemahnya daya beli masyarakat.
Demikian laporan Brief Report, Quarterly Economic Review 2025 “Pukulan Ganda untuk Ekonomi RI”, yang dikeluarkan CORE Indonesia.
Trump dan Gelombang Ketidakpastian Global
Kembalinya Donald Trump ke Gedung Putih ibarat badai yang mengubah peta ekonomi global. Kebijakan tarif impornya yang semena-mena—naik-turun dalam hitungan minggu—membuat pasar kalang-kabut.
China, mitra dagang utama Indonesia, terkena imbas paling keras. Ekspor kita ke Negeri Tirai Bambu, yang menyumbang 25% total ekspor, langsung merosot 3%.
IMF pun memangkas proyeksi pertumbuhan global. Harga komoditas andalan Indonesia seperti batu bara dan nikel ikut terjun bebas. Yang lebih mengkhawatirkan, gelombang PHK mulai terjadi. Dalam dua bulan pertama 2025 saja, 18.610 pekerja sudah dirumahkan—naik 142% dari tahun sebelumnya.
Konsumsi Domestik Tersendat, Ritel Mengeluh
Biasanya, Ramadan jadi momen pesta belanja. Tapi tahun ini, malah sepi. Indeks penjualan ritel makanan dan minuman hanya tumbuh 1,3%, jauh di bawah tahun lalu yang mencapai 7,5%. Transaksi kartu debit malah minus 4%, padahal sebelum pandemi bisa tumbuh dua digit.
“Orang lebih hati-hati belanja. Uangnya ada, tapi dipakai untuk hal-hal yang benar-benar penting,” kata seorang pemilik warung di Pasar Senen.
Bahkan tradisi mudik Lebaran pun ikut lesu. Jumlah pemudik turun 24%, tanda bahwa masyarakat—khususnya kelas menengah ke bawah—sudah mulai mengencangkan ikat pinggang.
Efisiensi Anggaran vs. Pertumbuhan Ekonomi
Pemerintah berdalih penghematan anggaran lewat Inpres No. 1/2025 perlu dilakukan. Tapi dampaknya terasa: belanja barang dipangkas 75%, belanja modal 96%. Proyek infrastruktur mangkrak, kontraktor mengeluh, lapangan kerja menyusut.
Di sisi lain, subsidi listrik malah membengkak Rp 2,02 triliun untuk program diskon 50%. Kebijakan ini memang membantu masyarakat, tapi tak cukup mendongkrak konsumsi. Defisit APBN pun melebar jadi Rp 104 triliun—pertanda fiskal sedang tidak sehat.