Defisit Keputusan

Oleh Eileen Rachman & Emilia Jakob

Di beberapa organisasi besar yang kita pikir sudah memiliki sistem yang established, ternyata masih sering kita temui komentar karyawan, seperti “soal jatah cicilan mobil, hanya big boss dan Tuhan yang tahu”. Bayangkan, sebuah keputusan yang sebenarnya bisa dengan mudah disusun dalam aturan perusahaan, ternyata masih harus dikendalikan CEO perusahaan secara langsung.

Di tempat lain, pemangku jabatan setingkat direktur pun terasa tidak dapat memanfaatkan wewenangnya untuk memutuskan sesuatu hal yang sering terkait dengan selera dari pimpinan tertinggi organisasi.

Budaya seperti ini lebih umum berkembang dalam organisasi-organisasi dengan CEO yang juga pemilik perusahaan karena mereka sudah terbiasa mengambil keputusan tanpa perlu memberikan penjelasan kepada siapa pun.

Mereka yakin pada insting mereka dalam mengambil keputusan yang telah terbukti membuat mereka berhasil mengembangkan perusahaan sampai seperti sekarang. Ini membuat bawahan tidak berani mengambil keputusan tanpa berkonsultasi dengan pimpinan karena khawatir pimpinan memiliki pertimbangan sendiri

Memang tidak semua keputusan bisa didelegasikan. Terutama yang menyangkut arah organisasi secara keseluruhan. 

Kelly Devine, Presiden Mastercard Inggris, mengatakan, “The only time i really feel it’s hard to delegate is when the decision is in a highly pressurized, contentious, or consequential situation, and i simply don’t want someone on my team to be carrying that burden alone.”

Persiapan transisi delegasi

Pada masa sekarang, banyak pengambilan keputusan bahkan dapat dilakukan oleh mesin dengan algoritma. Dengan demikian, SDM yang ada dapat mengalihkan waktu dan energi mereka pada tugas-tugas lain yang membutuhkan analisa yang lebih strategis.

Demikian juga bila pimpinan dapat mengalihkan sebagian besar tugas pengambilan keputusan operasional kepada bawahannya yang sehari-hari menghadapi situasi di lapangan, ia akan memiliki waktu lebih banyak untuk mengeksplorasi peluang baru, serta memikirkan langkah antisipatif untuk membuat organisasinya tetap kompetitif.

Namun, dalam praktiknya, hal itu sulit diwujudkan. Pimpinan yang sudah terbiasa mengambil keputusan sendiri sering kali tidak memiliki panduan yang jelas. Karyawan dibiarkan mengambil tanggung jawab pengambilan keputusan dengan meraba-raba tanpa dukungan yang jelas.

Bisa jadi para pemimpin ini kemudian juga tidak puas dengan mutu keputusan bawahan sehingga akhirnya lagi-lagi keputusan dibuat mereka sendiri sesuai dengan intuisinya.

Yang Perlu Anda Ketahui Tentang Biaya Pendaftaran Perusahaan untuk Perusahaan Milik Asing di Indonesia

Jika Anda seorang pengusaha yang sedang mempertimbangkan prospek yang menarik ini, memahami biaya pendaftaran...

VRITIMES dan BakalBeda.com Bersatu Memajukan Inovasi Media Digital

Jakarta, 6 Mei 2024 – Dalam upaya terus memperluas jangkauan dan meningkatkan kualitas konten...

Perluasan Bandara Internasional Dubai – Sebuah Game Changer untuk Real Estat Dubai

Dubai, kota yang terkenal dengan proyek infrastruktur ambisius dan inisiatif pembangunan yang berpikiran maju,...

- A word from our sponsor -