Bagian opera berakhir, dan segmen rock dimulai. Iblis, yang marah atas pengkhianatan Freddie yang tidak menghormati perjanjian, mencemoohnya:
“Jadi kau pikir kau bisa melempar batu ke arahku dan meludahi wajahku? Jadi kau pikir kau bisa mencintaiku lalu meninggalkanku mati?”

Sangat menarik melihat bagaimana Sang Pangeran Neraka (Belzeebub dalam tradisi Yahudi-Kristen, tapi juga ada bayang-bayang Ahriman, tuhan jahat dalam agama Zoroaster, yang muncul di tanah Persia, latar-belakang keluarga Freddie), tampak tak berdaya di hadapan kehendak bebas manusia, pertobatan, dan cinta.
Setelah kalah dalam pertempuran, iblis pun pergi, mengantarkan ke babak terakhir atau coda.
Lagu ini mengakhiri perjalanan spiritual Freddie, menggambarkan pertarungan antara hidup dan mati, kebaikan dan kejahatan, serta ketidakpastian akan kehidupan setelah kematian. Inilah mengapa “Bohemian Rhapsody” tetap menjadi mahakarya yang tak terlupakan dalam sejarah musik.

Puiuhan tahun setelah saya mendengarnya pertama kali di bangku SMP, magnum opus ini masih memaksa saya menyimak, tak mungkin menyikapinya dengan easy listening — dan tetap tercekam.
Selamat ulang tahun ke-50, “Bohemian Rhapsody”! (*)