Di tengah gegap gempita dunia yang makin digital dan serba otomatis, seorang perempuan intelektual berdiri anggun di atas podium akademik dan mengingatkan kita semua: jangan sampai kita kehilangan kemanusiaan hanya demi kecepatan.
Dia adalah Prof. Dr. Ulani Yunus, perempuan inspiratif di balik perjalanan panjang dunia komunikasi dan branding di Indonesia. Pada momen pengukuhannya sebagai Guru Besar Ilmu Komunikasi di LSPR Jakarta (3 Juli 2025), Prof. Ulani menyampaikan sebuah orasi ilmiah yang menggugah: “Disrupsi Kreativitas: Kecerdasan Buatan, Etika, dan Senjakala Peran Manusia dalam Kegiatan Branding.”
Topiknya terdengar berat? Mungkin. Tapi isinya justru sangat relevan dengan kehidupan kita hari ini—terutama bagi para kreator, marketer, digital nomads, bahkan kita yang hidup dari dunia visual dan storytelling.
Bacaan Menarik: Membangun Mesin Uang di Era AI
“AI sekarang bisa bikin logo, slogan, bahkan narasi kampanye. Tapi, apakah itu berarti kreativitas manusia tidak lagi dibutuhkan?” tanya Prof. Ulani dalam orasinya.
Ia membahas bagaimana kecanggihan teknologi—meskipun mengagumkan—jangan sampai merampas intuisi, empati, dan nilai-nilai manusia dalam proses kreatif. Dalam gaya yang hangat tapi tajam, Ulani menyentil fenomena virtual influencer seperti Lentari Pagi dan Lavcaca, yang kini bisa menggantikan peran brand ambassador manusia.
Ulani nggak sekadar warning soal teknologi, dia juga kasih arah: gunakan AI sebagai alat kolaborasi. Jangan sampai kita jadi kurator dari karya kita sendiri yang sebenarnya dibuat mesin. Lentari Pagi atau Lavcaca makin ngegas jadi wajah brand. Estetik? Iya. Viral?
“Mungkin. Tapi apakah bisa membangun koneksi emosional yang tulus? Itu yang dipertanyakan. “Penting bagi kita untuk tidak hanya berpikir tentang apa yang bisa dilakukan teknologi, tapi apa yang seharusnya dilakukan,” ujarnya.
Bukan berarti Ulani anti teknologi. Sebaliknya, ia mendorong kita untuk masuk ke era “kreativitas simbiotik manusia-AI” — di mana teknologi dan manusia bukan saling menggantikan, tapi saling memperkuat. — sekaligus gabungan antara kecepatan mesin dan kedalaman manusia. A bold idea yang basically bilang: “AI jangan dibenci, tapi juga jangan sampai jadi bos.”
“Di era AI, kreativitas manusia masih jadi kunci. Tapi etika adalah bentengnya,” tegas Ulani. Masih menurut dia, kita sekarang hidup di era di mana branding nggak cuma bersaing soal kualitas produk, tapi juga makna yang dikomunikasikan.
Di sinilah manusia tetap punya keunggulan: memahami konteks, membangun relasi, dan menghadirkan empati. AI bisa meniru, tapi nggak bisa menggantikan pengalaman hidup manusia.